Perjuangan Nelayan Pulau Bisa dalam memperoleh Surat Izin Penempatan Rumpon

Oleh: Bachori Dian Pratama dan Putra Satria Timur

Sebagai Alat Bantu Penangkapan Ikan (ABPI) yang dibuat oleh manusia, rumpon merupakan benda terapung alami (berjangkar atau tidak berjangkar) yang memiliki kemampuan menarik atau mengumpulkan ikan (Itano, 2007). Penggunaan rumpon dapat mendukung kegiatan penangkapan ikan, yaitu mencakup satu kesatuan dengan kapal penangkap ikan, menggunakan berbagai bentuk dan jenis penarik sebagai alat bantu untuk mengumpulkan ikan dan digunakan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penangkapan ikan. Hingga saat ini, masih banyak nelayan yang belum memiliki izin penempatan rumpon. Perizinan rumpon menjadi isu yang semakin penting di Indonesia, terutama untuk rumpon berjangkar (anchored FADs) yang mengumpulkan sekumpulan cakalang (SKJ), tuna sirip kuning (YFT) dan tuna mata besar (BET).

Pemerintah Indonesia telah berupaya dalam mengelola rumpon melalui penerbitan berbagai kebijakan rumpon sejak tahun 1997, diikuti oleh Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PERMEN KP) No. 26 tahun 2014 dan saat ini telah direvisi menjadi PERMEN-KP No.18 tahun 2021, serta peraturan lainnya yang berkaitan dalam pengelolaan dan perizinan rumpon. Tentunya struktur pengelolaan ini adalah kunci untuk memastikan keberlanjutan perikanan untuk praktik penangkapan karena rumpon dapat dianggap sebagai perpanjangan dari kapal nelayan dan bagian dari alat tangkap (Mous & Pet, 2017).

Keberadaan rumpon yang semakin menjamur membuat mereka semakin terdesak, di mana hasil tangkapan mereka kian menurun, ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil dan lokasi penangkapan semakin menjauh. Tidak berhenti di situ saja, bahkan rumpon yang dipasang dan tidak berizin ini sering kali menghalangi jalur pergerakan kapal. Oleh karena itu, sepatutnya keberadaan rumpon harus segera ditata kembali sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.

Sarno La Jiwa, salah satu nelayan dampingan MDPI di Pulau Bisa, Maluku Utara pun mengeluhkan keberadaan rumpon yang semakin menjamur dan semakin banyaknya kapal purse seine yang menyebabkan nelayan kesulitan memperoleh ikan. “Saya mulai mengalihkan target tangkapan menjadi ikan karang agar tetap bisa menyambung hidup bahkan beberapa nelayan lainnya beralih profesi menjadi tukang ojek dan mengadu nasib menjadi penambang emas,” ujar Pak Sarno.

Nelayan binaan MDPI yang tergabung bersama Pak Sarno dalam Koperasi Komite Tuna Bisa Mandioli mengambil langkah untuk melakukan pengurusan Surat Izin Penempatan Rumpon (SIPR). Mereka menyadari bahwa regulasi ini penting untuk mengatur keserasian ruang laut dan dampak dari perikanan tangkap, sehingga perlu diatur untuk keberlanjutan sumber daya perikanan. Mengingat proses pengurusan perizinan rumpon merupakan hal baru dan perlu melewati banyak tahapan, MDPI memberikan dukungan penuh dalam memfasilitasi proses perizinan penempatan rumpon, mulai dari pengurusan dokumen dasar Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) hingga penyediaan data pendukung dokumen dasar berupa data pasang surut, data arah dan kecepatan arus, tinggi gelombang, peta kedalaman laut, data sosial ekonomi masyarakat dan lain sebagainya.

Baca juga: Rumpon Liar Meresahkan, Pemerintah dan Nelayan Maluku Utara Ambil Tindakan

Setelah lima bulan sejak pengurusan dokumen dasar melalui Online Single Submission (OSS), dokumen PKKPRL akhirnya terbit. Proses ini tidak berhenti begitu saja, namun nelayan Pulau Bisa dengan dampingan MDPI kembali bergerak untuk melakukan pengurusan SIPR di pemerintah daerah. Hal ini sejalan dengan peraturan yang berlaku, di mana pemerintah daerah memiliki kewenangan atas rumpon yang pemasangannya diajukan di bawah 12 mil. 

Atas kerja keras para nelayan yang tergabung dalam Koperasi Komite Tuna Bisa Mandioli bersama MDPI, sejumlah data yang dibutuhkan berhasil terkumpul dan memenuhi persyaratan, mulai dari surat rekomendasi Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi, surat rekomendasi Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP), dan beberapa persyaratan lainnya, hingga akhirnya SIPR diterbitkan pada tanggal 20 Desember 2022.

Perjuangan para nelayan binaan MDPI dan upaya kolaboratif bersama KKP dan pemerintah daerah membuahkan hasil terbitnya SIPR pertama di Maluku Utara, bahkan di Indonesia, dan menjadi bukti bahwa pengurusan dokumen yang sebelumnya dianggap sulit ternyata dapat dilakukan, selama dijalankan secara tuntas dan tertata. Momentum keberhasilan ini dirayakan dengan penyerahan dokumen SIPR secara langsung oleh Kepala Dinas Penanam Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang diwakilkan oleh Kepala Bidang Perikanan Tangkap, Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Maluku Utara yaitu Sugiharsono kepada perwakilan nelayan Koperasi Komite Tuna Bisa Mandioli, Sarno La Jiwa saat Pertemuan Reguler Komite Pengelola Bersama Perikanan Tuna Provinsi Maluku Utara pada 21 Desember 2022.

“Rumpon yang kita tanam ini harus punya izin. Kami tidak mau punya barang yang illegal karena sertifikasi Fair Trade mengajarkan kita untuk melakukan kegiatan penangkapan yang legal,” ungkap Pak Sarno. Harapannya dengan terbitnya SIPR pertama ini akan diikuti dengan pengurusan SIPR pada rumpon-rumpon lainnya di Indonesia dan melegalkan status ikan yang ditangkap oleh nelayan kecil yang tergabung dalam sertifikasi.