Nelayan tuna untuk perikanan berkelanjutan: “Mari rehat sehari”

Dari data-data yang dihimpun oleh Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI), terdapat indikasi bahwa ukuran ikan tuna yang berhasil ditangkap mulai mengecil dan nelayan kecilpun makin jauh menangkap, sehingga waktu melaut makin lama dan biaya bahan bakar membengkak. Inilah tanda-tanda dari menurunnya hasil tangkapan yang perlu diwaspadai oleh nelayan-nelayan kecil yang memiliki keterbatasan. Banyak dari mereka tidak memiliki sumber pendapatan alternatif; mereka tidak mampu untuk terus membayar biaya operasional penangkapan ikan yang tinggi hanya untuk kembali dengan hasil tangkapan yang terlalu sedikit.


Sejumlah kelompok nelayan Fair Trade di Maluku dan Maluku Utara merayakan peringatan Hari Perikanan Sedunia (World Fisheries Day/WFD) 2021 dengan berbagai kegiatan sosial. Tahun ini, mereka menyuarakan ajakan istirahat sehari menangkap ikan setiap minggu atau 52 (lima puluh dua) hari dalam setahun. Hal ini ditujukan mengurangi mortalitas penangkapan dan memberikan waktu bagi ikan untuk bertelur dan berkembangbiak, demi membantu upaya perbaikan stok ikan secara alami.

Agustina Nilam Ratnawati, Fisheries Community Organization Manager MDPI yang bertanggung jawab atas implementasi program Fair Trade USA di Maluku dan Maluku Utara menyampaikan bahwa selama 8 tahun pendampingan, sejumlah pembelajaran turut dirasakan oleh seluruh pihak. “Pemenuhan standar untuk sertifikasi Fair Trade ini tidak mudah; awalnya nelayan berpartisipasi dalam sertifikasi ini dengan motivasi mendapatkan dana Premium,” ujarnya.

Dana Premium sendiri merupakan uang yang diterima oleh Komite Nelayan Fair Trade setiap daerah berdasarkan jumlah ikan yang berhasil diekspor, yang kemudian dibagikan kepada setiap kelompok di daerahnya. Ikan yang dijual melalui rantai pasok Fair Trade dapat menghasilkan sejumlah USD 0,2 (sekitar Rp 3.000) per kilogram dari total yang di ekspor. Penggunaan dana ini dialokasikan untuk keperluan lingkungan (30%) dan non-lingkungan (70%) termasuk biaya operasional tiap kelompok.

Namun, untuk bisa menerima Dana Premium para nelayan harus melakukan banyak hal baru yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan, misalnya pencatatan perjalanan memancing, serangkaian rapat kelompok, berorganisasi, dan lain sebagainya. Butuh waktu dan ketekunan dalam mendampingi para nelayan agar dapat memperbiasakan hal-hal tersebut.

“Di tahun ke-6, kelompok nelayan Fair Trade sudah bisa melakukan manajemen isu, tetapi untuk membuat pelaporan dan komunikasi dengan perusahaan baru mulai dilakukan,” tambah Nilam. Periode sertifikasi 6 tahun dirasa belum cukup untuk memaksimalkan kelompok. Kurun waktu tersebut lebih banyak dilalui sebagai proses seleksi nelayan yang benar-benar serius mengikuti sertifikasi ini. Baru ada beberapa orang yang benar-benar dapat menyanggupi dan mempertahankan kelompok agar dapat terus berjalan.

Karena nelayan sangat tergantung pada laut, ada berbagai faktor yang harus dipertimbangkan agar menjamin bisa dapat ikan. Pnangkapan harus teratur dan ramah lingkungan, tidak mengganggu satwa yang dilindungi seperti lumba-lumba, penyu, dan hiu, juga tidak membuang sampah di laut, dan mematuhi prinsip perikanan berkelanjutan lainnya.

Gafur Kaboli, nelayan Fair Trade Marimoi di Jambula, Ternate yang juga menjadi nelayan champion MDPI mampu menjelaskan situasi perikanan ini di depan nelayan-nelayan lain yang hadir di sesi diskusi yang dipimpinnya saat perayaan WFD tahun ini. Data perikanan tuna I-Fish MDPI pada 2014 menyebutkan di WPP 714 dan 715 panjang tuna yang ditangkap masih berkisar 150-170 cm dengan jumlah yang lebih banyak. Tapi pada 2020, sebaliknya; nelayan lebih banyak menangkap yang ukurannya kecil. “Ada apa? Laut bermasalah? Tuna bermigrasi, tapi ada juga penangkapan berlebih,” ujar Gafur yang mengetuai kelompok nelayan beranggotakan 25 orang.

Terkait kondisi stok ikan, Wildan selaku Fisheries Manager MDPI mengatakan bahwa Indonesia memiliki keunggulan dalam penangkapan perikanan tuna untuk jenis sirip kuning (yellowfin tuna) dan cakalang. Menurutnya, saat ini ada dua kondisi perikanan tuna di Indonesia. “Untuk wilayah Samudra Pasifik bagian barat dan tengah, kondisi stok masih dalam keadaan baik sehingga masih dapat dilakukan penangkapan. Namun, untuk di wilayah pengaturan Samudra Hindia terjadi penangkapan tuna yellowfin yang berlebih (over-fishing) sehingga perlu ada rebuilding stock program yang telah diadopsi oleh Komisi Tuna Samudra Hindia (Indian Ocean Tuna Commission/IOTC).”

Pengelolaan dan pengaturan perikanan tuna perlu memperhatikan wilayah di mana tuna ditangkap. Menurutnya, “Tindakan rebuilding stock dapat memulihkan kembali kesehatan stok tuna, salah satunya dengan memberlakukan pembatasan tangkapan (catch limit) untuk setiap negara anggota IOTC.” Kondisi stok ikan yang tidak baik dapat menghambat peluang sertifikasi eco-label sebuah rantai perikanan, karena sertifikasi seperti Fair Trade dan Marine Stewardship Council menuntut kondisi stok untuk dapat sehat kembali.

Peran pemerintah Republik Indonesia juga menjadi kunci dalam memperbaiki pengelolaan perikanan di negeri ini. MDPI aktif terlibat dalam proses perbaikan perikanan dan sejauh ini bisa terlihat adanya upaya pemerintah yang terus dijalankan. “Pemerintah melakukan pengumpulan data dan pelaporan hasil tangkapan, memperbaharui Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna-Cakalang- Tongkol (TCT), juga menjadi anggota tetap pada organisasi kerjasama regional pengelolaan perikanan tuna seperti IOTC, Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC), Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) dan menjadi anggota tidak tetap di Inter-American Tropical Tuna Commissoin (IATTC),” tutur Wildan. Selain itu, Indonesia juga mulai konsisten dalam menjalankan 5 management measures dalam Harvest Strategy Tuna Indonesia, antara lain melalui pembatasan rumpon, pembatasan izin kapal, penutupan parsial area, pengaturan lama hari melaut, dan penentuan tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch). Upaya pengelolaan juga dipermudah dengan adanya forum stakeholder dan komunikasi yang secara aktif mengupayakan peningkatan kesadaran kepada pelaku usaha, khususnya terkait aturan dan kondisi terkini perikanan tuna.

Sepanjang momentum WFD 2021, MDPI didukung oleh para nelayan Fair Trade dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat seputar pentingnya kesehatan ekosistem dan stok ikan bagi perikanan berkelanjutan.

Nelayan pada umumnya mengambil satu hari untuk istirahat, biasanya untuk membersihkan kapal dan beribadah di hari Jumat. Secara logika sederhana, dengan beristirahat satu hari setiap minggu, maka satu orang nelayan bisa memberikan kontribusi terhadap konservasi untuk setidaknya satu ekor ikan di laut yang tidak ditangkap. Jika nelayan Fair Trade berjumlah sebanyak 682 orang, maka akan terdapat 682 ekor tuna yang tidak tertangkap dalam seminggu atau setara dengan 17.050 kg (asumsi rata-rata berat tuna 25 kg/ekor), atau setara dengan 35.464 ekor tuna yang setara dengan 886.600 kg dalam setahun.

Jumlah tersebut merupakan kontribusi nelayan yang sangat besar untuk pemulihan stok ikan secara alami. Harapannya, dengan beristirahat melaut satu hari, selain memberikan waktu istirahat untuk nelayan, sumber daya perikanan juga dapat memiliki waktu untuk pulih kembali dan bertambah banyak.

Happy people, many fish!