Kisah Rumpon Berizin yang Terseret Kapal Tongkang Menguak Kelemahan Regulasi Rumpon di Lapangan

oleh Marwan Adam, Putra Satria Timur

Kekuatan hukum regulasi rumpon diuji dalam insiden hancurnya rumpon berizin milik nelayan skala kecil Maluku Utara. Akhir September 2025, rumpon yang terletak di perairan Selat Obi, Maluku Utara hancur terseret kapal tongkang yang sedang melewati perairan. Nelayan kemudian menghubungi MDPI untuk konsultasi kebijakan–bagaimana rumpon yang sudah teruji dan berizin tidak menghalangi jalur pelayaran bisa mendapatkan keadilan setelah ditabrak kapal yang sedang berlalu.

Dengan keterbatasan pengetahuan terkait regulasi, pengurus Koperasi Komite Tuna Bisa Mandioli, Sarno La Jiwa, meminta bantuan setelah buntu tak mendapatkan solusi semenjak satu minggu berlalu. Rumponnya adalah yang pertama mendapatkan izin di Indonesia, dengan pendampingan legalitas dari MDPI.

“Kami menghubungi MDPI untuk konsultasi, kepada siapa kami dapat mencari bantuan hukum? Setelahnya, MDPI membantu menghubungkan kami dengan beberapa pihak pemerintah,” sambung Sarno. Nelayan kemudian menempuh laporan kepada pihak Kepolisian sembari menghubungi Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) lokal untuk kejelasan regulasi yang melindungi rumpon berizin.

Izin Rumpon Sebagai Justifikasi Tuntutan Pertanggungjawaban Vandalisme

Sarno La Jiwa, nelayan anggota Koperasi Tuna Bisa Mandioli
Sarno La Jiwa, nelayan anggota Koperasi Tuna Bisa Mandioli yang mengurus rumpon rusak akibat terseret kapal tongkang di jalur non-pelayaran.

Perusakan rumpon oleh kapal yang sedang lalu-lalang bukan kali pertama terjadi di Laut Maluku. Namun ini kali pertama rumpon berizin menjadi korban insiden vandalisme.

“Koperasi mendapat laporan dari tiga nelayan yang sedang melaut bahwa rumpon desa telah dirusak. Rumpon kami terseret kapal tongkang 7 mil jauhnya dari titik koordinat terdaftar. Saya langsung turun melaut dan mengejar mereka untuk meminta pertanggungjawaban,” ujar Sarno.

Berita acara yang ditulis Sarno
Berita acara yang ditulis Sarno sebagai dokumen pendukung proses pertanggungjawaban pelaku vandalisme rumpon berizin.

Pihak kapal tongkang sempat menolak bertanggung jawab saat ditemui Sarno di tengah laut. Namun Sarno menyampaikan kepada pihak kapal, bahwa ia berhak meminta pertanggungjawaban karena rumpon mereka dilindungi izin dan tidak terletak di jalur pelayaran. Sarno dan pihak kapal tongkang kemudian menyepakati penandatanganan Berita Acara sebagai dokumen yang mengikat pihak kapal untuk bertanggung jawab.

“Kami berkonsultasi dengan MDPI setelah tidak dapat kabar dari pihak kapal. Setelah itu, MDPI membantu menghubungkan kami dengan pemerintah setempat,” lanjut Sarno. Nelayan pun berani mengambil langkah pertanggungjawaban pasti karena mengantongi izin–sebuah justifikasi bahwa rumpon tidak melanggar jalur pelayaran dan tidak berhak untuk diputus.

Ilustrasi nelayan skala kecil yang memancing
Ilustrasi nelayan skala kecil yang memancing di sekitar rumpon perairan Selat Obi melalui tangkapan gambar kamera pengawas kapal. Rumpon tampak jelas di tengah luasnya laut, sehingga kapal yang melintang sepatutnya dapat menghindarinya–sebuah indikasi kuat bahwa perusakan rumpon merupakan tindakan vandalisme.

Dari insiden ini, total kerugian yang melanda Koperasi yang dimiliki komunitas nelayan Desa Madapolo, Halmahera Selatan, Maluku Utara adalah sekitar Rp 55 juta. Namun dari pihak kapal hanya dapat menanggung Rp 45 juta; hanya 81% dari total kerugian. Retaliasi berakhir setelah nelayan sepakat berdamai–khawatir jika perkara diteruskan akan memakan lebih banyak uang, waktu, dan tenaga.

Baca juga: Harga Tuna Turun, Hidup Kami Juga: Cerita Keluarga Nelayan yang Menolak Tenggelam

Insiden Sebagai Pil Pembelajaran yang Pahit

Kejadian ini menunjukkan bahwa izin rumpon dapat menjadi dokumen justifikasi ‘pelindung’ sementara dari tindak vandalisme. Namun hingga tulisan ini dibuat, belum ada perlindungan penuh dari pembuat kebijakan kepada rumpon-rumpon berizin.

MDPI merumuskan pembelajaran yang dapat diambil dari insiden ini:

  1. Nelayan skala kecil adalah kelompok yang sangat rentan dirugikan dalam isu rumpon seperti ini. Mereka memiliki keterbatasan literasi, keuangan, dan kemampuan untuk melindungi diri di ranah kebijakan dan hukum.
  2. Jaminan perlindungan izin rumpon masih memiliki celah yang besar. Hingga artikel ini tertulis, belum ada kejelasan perlindungan dari pihak berwajib untuk mengawal proses hukum maupun mengawasi lokasi perkara.
  3. Adanya celah antara ekspektasi regulasi dengan implementasi peraturan rumpon. Hal ini ditunjukkan pada lemahnya perlindungan rumpon berizin yang tidak melanggar secara hukum maupun menghalangi jalur pelayaran secara sah.
  4. Kurangnya kapasitas implementasi dapat mengindikasikan peraturan rumpon yang sulit dipenuhi masyarakat. Langkah yang dapat diambil adalah pengarusutamaan, penyederhanaan, dan sosialisasi regulasi rumpon.

Insiden ini dapat menjadi data yang penting untuk menyempurnakan kebijakan rumpon. Pembenahan masih mungkin dikejar: Bahwa regulasi yang mengacu pada data dapat menjadi ‘obat’ yang tepat untuk mengatasi permasalahan di lapangan.