Perkuat Sinergi dan Kolaborasi Dalam Penangkapan Ikan Tuna Secara Terukur

Berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 2020, Indonesia menjadi salah satu negara produsen ikan tuna di dunia dengan jumlah produksi mencapai 20% dari produksi tuna cakalang dan tongkol di dunia. Oleh karena itu, saat ini Indonesia telah menjadi anggota penuh pada organisasi pengelolaan perikanan tuna regional di wilayah Samudera Hindia, di wilayah bagian Barat dan Tengah Samudera Pasifik. Selain itu, Indonesia juga berpartisipasi dalam organisasi pengelola perikanan tuna di Samudera Atlantik.

Untuk mendukung pengelolaan perikanan yang efektif di tingkat daerah dan sejalan dengan kesepakatan bersama antara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI), maka MDPI membentuk Komite Pengelola Bersama Perikanan (KPBP) Tuna di enam provinsi yaitu Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan. Di Provinsi Papua Barat dan Sulawesi Tenggara, pembentukan KPBP Tuna turut difasilitasi oleh Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Handline Indonesia (AP2HI) dan Yayasan IPNLF Indonesia (YII).

Komite ini merupakan salah satu wadah untuk berkolaborasi, berdiskusi, bernegosiasi, berkonsultasi dan bersepakat, dalam rangka mendukung pemerintah mewujudkan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab serta berbasis partisipasi.

Menindaklanjuti serangkaian Pertemuan Reguler KPBP setiap provinsi selama tahun 2021-2022, KKP bersama MDPI menggelar Pertemuan Regional Ke-4 Komite Pengelola Bersama Perikanan di Bali pada 28 Juli 2022 yang dihadiri 148 perwakilan pemangku kepentingan perikanan dari delapan provinsi yang tergabung secara daring dan luring. Peserta merupakan perwakilan dari KKP, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) delapan provinsi, kelompok nelayan kecil, pelaku industri perikanan termasuk pemasok ikan dan perusahaan pengolah, akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga donor dan pemangku kepentingan lainnya dalam lingkup pengelolaan perikanan.

Perikanan skala kecil pun menjadi prioritas dalam upaya pengelolaan bersama demi memanfaatkan sumber daya ikan di perairan Indonesia secara teregulasi. Pada kesempatan ini, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap M. Zaini Hanafi menyampaikan bahwa penerapan pengelolaan perikanan berkelanjutan harus diterapkan secara terukur dan berkesinambungan agar keseimbangan ekonomi dan ekologi tetap berjalan.

“Penangkapan ikan terukur ini memang bertujuan agar ekonomi dan ekologi seimbang. Harus berjalan berdampingan,” ujar Direktur Jenderal Perikanan Tangkap M. Zaini Hanafi pada diskusi pertemuan regional tersebut. 

Menurutnya, sinergi dan kerjasama merupakan kunci sukses pengembangan perikanan tangkap. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan tata kelola perikanan tangkap yang baik dalam rangka mewujudkan kesejahteraan nelayan dan sumber daya perikanan yang berkelanjutan. Selain diutamakan mendapatkan kuota penangkapan ikan terukur, nelayan kecil dengan ukuran kapal di bawah 5 GT tidak dilakukan pembatasan kuota penangkapan ikan.

“Ini yang terus kita dorong, dimajukan dan dibesarkan. Alokasi kuota penangkapan ikan terukur yang pertama kita berikan sesuai sesuai dengan jumlah mutakhir nelayan lokal yang diketahui pada saat ini,” ujar Ridwan Mulyana selaku Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan (PSDI) pada pertemuan ini.

Pertemuan Regional IV KBPB yang menjadi wadah pertukaran informasi seputar tantangan dan peluang pengelolaan perikanan berkelanjutan turut membahas upaya pemberdayaan nelayan kecil, termasuk pengelolaan dan perizinan rumpon. Pemerintah Indonesia melalui KKP juga mengatur alokasi dan perizinan alat tangkap rumpon. Tujuannya untuk mengurangi dampak eksploitasi stok ikan dengan tetap menjaga keharmonisan wilayah laut.

Namun, di tingkat nelayan, pengetahuan tentang alokasi ruang dan izin terkait rumpon masih sangat sedikit. Kebutuhan akan penempatan rumpon yang tepat muncul dari kompleksnya penggunaan wilayah laut. Ridwan Mulyana mencontohkan beberapa badan air yang tidak boleh digunakan sebagai lokasi pemasangan rumpon. Misalnya, pariwisata ke kawasan lindung, kawasan militer dan lain-lain.

Pertemuan ini turut membahas harvest strategy, sebuah rencana pengelolaan yang diimplementasi di tingkat nasional dan internasional. Harvest strategy yang tujuan pengelolaannya memastikan keberlanjutan sumber daya tuna mata besar, cakalang, dan madidihang ini telah diinisiasi sejak tahun 2014. Terlepas dari desain model, pengembangan harvest strategy terus ditingkatkan dengan data ilmiah yang diperbarui.

Wildan selaku Fisheries Manager MDPI mengatakan data tersebut berupa data biologis, operasi kapal, dan kajian sosial ekonomi. “Kami berharap dengan diskusi rutin tentang harvest strategy ini, perlahan-lahan kita bisa melibatkan semua pemangku kepentingan, pelaku bisnis dan nelayan. Tidak perlu dipahami bersama, dan butuh lebih banyak energi dan waktu  untuk mewujudkannya,” jelas Wildan.

Baca: Mengulik Harvest Strategy Tuna di Indonesia

Selain itu, pertemuan tahunan ini turut membahas seputar ketersediaan bahan bakar minyak, kewajiban administrasi nelayan dan pelaporan hasil tangkapan ikan. Dalam rangka meningkatkan ketersediaan BBM, diharapkan dapat dilakukan revisi peraturan terkait pembagian konsumen untuk nelayan dan percepatan pendataan melalui KUSUKA sebagai dasar dalam penyaluran BBM subsidi.

Pembahasan juga mecakup serangkaian peraturan kewajiban kapal berukuran ≤ 5 GT untuk memiliki Surat Persetujuan Berlayar dan melaporkan hasil tangkapan ikan kepada Pelabuhan pangkalan serta kewajiban kapal berukuran ≤ 5 GT memiliki Buku Kapal Perikanan (BKP) dan Surat Kecakapan Nelayan (SKN) bagi nahkoda yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2024.

Sebagai salah satu langkah menuju penerapan pengelolaan perikanan partisipatif, KPBP turut melibatkan pemangku kepentingan perikanan untuk bersama menentukan langkah pengelolaan selanjutnya dan menjadi wadah untuk mencari solusi terbaik atas tantangan-tantangan di sektor perikanan. Ke depannya penyusunan rencana kerja akan dilakukan sebagai tindak lanjut penanganan isu dan permasalahan yang ada, guna mencapai pemanfaatan sumber daya tuna yang berkelanjutan melalui kebijakan penangkapan ikan terukur.