Pertemuan Regional KPBP Ketiga: Mengelola perikanan secara berkelanjutan dan terukur

Indonesia menjadi salah satu negara produsen ikan tuna di dunia. Perikanan tuna khususnya cakalang, tuna madidihang dan tuna mata besar di WPPNRI 713, 714, 715, 716 dan 717 memegang peranan penting dalam perikanan tuna nasional. Namun, bila tidak dikelola dengan tepat, dapat mengancam kelestarian sumber daya tuna di perairan tersebut.

Sudah saatnya praktik pengelolaan perikanan berkelanjutan diterapkan secara terukur dan diperkenalkan sebagai instrumen pengelolaan berbasis kuota penangkapan ikan atau output control. Pendekatan pengelolaan tersebut tentunya perlu dirancang dengan tetap mengedepankan perlindungan terhadap kepentingan nelayan kecil. Selain itu, pasar global pun kini didorong untuk mengedepankan metode penangkapan tuna yang ramah lingkungan, dapat ditelusuri, dan tidak mengorbankan satwa laut terancam punah dan dilindungi.

Beberapa hal tersebut turut menjadi poin bahasan dalam Pertemuan Regional Komite Pengelola Bersama Perikanan (KPBP) Tuna ketiga di Jakarta pada 15 Desember 2021. Pertemuan yang diadakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan MDPI merupakan pertemuan tahunan yang begitu penting untuk membangun sinerjitas antar pemangku kepentingan di sektor perikanan. Dihadiri langsung oleh Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono, pertemuan ini turut melibatkan perwakilan KPBP dari delapan provinsi: Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Papua Barat.

Sakti Wahyu Trenggono – Menteri Kelautan dan Perikanan

Pada kesempatan ini, Menteri Trenggono menyampaikan bahwa penerapan ekonomi biru di subsektor perikanan tangkap dapat dilakukan melalui kegiatan penangkapan ikan terukur. Selain itu, dilaksanakan juga penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pasca produksi untuk mewujudkan keadilan dan pemerataan ekonomi.

“Saya meminta agar komite pengelola perikanan tuna ini dapat bekerja bersama mengawal penangkapan ikan terukur. Kita harus bisa rebound dan bersinergi untuk menjadikan Indonesia sebagai produsen ikan dunia dan menjadi tulang punggung perekonomian bangsa,” ujarnya saat membuka Pertemuan Regional KPBP III di Ballroom Gedung Mina Bahari III KKP.

Sehubungan dengan Pengelolaan Sumber Daya Ikan (PSDI), Direktur PSDI Trian Yunanda mengatakan 70% tangkapan tuna di Indonesia berasal dari nelayan kecil yang umumnya menggunakan alat penangkapan ikan yang sederhana namun ramah lingkungan seperti pancing ulur (handline). Untuk mengatur kuota tangkapan ikan, tata kelola perikanan tangkap berbasis WPPNRI akan dioptimalkan dengan membagi tiga zona: industri, nelayan lokal, dan nursery ground ikan.

Trian Yunanda – Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan
Saut Tampubolon – Ketua Yayasan MDPI

KPBP sendiri merupakan wadah komunikasi dan analisis data yang mengadakan Pertemuan Reguler dua kali dalam setahun untuk membahas tantangan pengelolaan perikanan yang dihadapi di tingkat daerah. KPBP turut melibatkan pemangku kepentingan perikanan yang pada umumnya jarang dilibatkan, seperti para nelayan kecil dan pemasok mini-plant. Bersama dengan perwakilan pemerintah, industri, asosiasi, akademisi, peneliti hingga LSM, para nelayan mendapat kesempatan untuk terlibat aktif dalam proses perencanaan dan pengelolaan perikanan di Indonesia.

Bapak Saut Tampubolon selaku Ketua Yayasan MDPI mengatakan telah terjadi peningkatan data jumlah tangkapan ikan tuna setiap tahunnya. Pada tahun 2020, produksi perikanan tuna mencapai 515.687 ton; 82% berasal dari WPPNRI 713, 714, dan 715 sedangkan 18% berasal dari WPPNRI 716 dan 717. “Peningkatan ini tentu kabar yang menggembirakan, namun bisa menjadi ancaman. Untuk itu, forum ini hadir untuk bertukar informasi dan membahas isu tentang perikanan tuna. Inilah saatnya untuk memperkenalkan kebijakan penangkapan ikan terukur, salah satunya untuk menjaga keberlanjutan ikan tuna itu sendiri,” jelasnya.

Dari segi rantai pasok produk perikanan, Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan dan hambatan peningkatan ekspor, antara lain pengenaan tarif tinggi, pemenuhan persayaratan terkait sertifikat mutu, keberlanjutan, ketelusuran, mitigasi tangkapan sampingan (bycatch), hingga kendala logistik. Nelayan kecil juga masih mengalami permasalahan dalam memenuhi ketentuan nasional, seperti kelengkapan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) dan laporan hasil tangkapan yang menjadi bagian dari legalitas persyaratan ekspor.

Permasalahan rumpon di WPPNRI 713, 714, dan 715 juga menjadi topik pembahasan hangat di antara peserta. Besar harapan adanya penertiban pemasangan rumpon, termasuk jarak antar rumpon, lokasi penempatan, dan ketentuan lainnya yang sejalan dengan peraturan. Di samping penerbitan Peraturan Menteri terkait alokasi rumpon di atas 12 mil, diharapkan juga adanya sosialisasi yang lebih luas terkait perizinan rumpon demi meningkatkan pemahaman pemerintah daerah, pelaku usaha, dan nelayan kecil.

MDPI turut mendukung kebijakan penangkapan ikan terukur yang tengah menjadi prioritas KKP. Pertemuan Regional KPBP tuna ini menjadi salah satu upaya yang dilakukan untuk bersinergi mewujudkan pemanfaatan sumber daya tuna secara berkelanjutan dan terukur, khususnya di wilayah perairan Indonesia timur.

Sesuai dengan agenda tahunan, Pertemuan Regional KBPB ke-4 dijadwalkan akan kembali diselenggarakan pada tahun 2022.