oleh Maman
Saya memahami pembagian peran yang demikian terjadi bukan hanya karena adanya norma sosial yang disepakati, melainkan juga berdasarkan pengalaman kelompok masyarakat, studi kasus dan juga pertimbangan manfaat dan risiko yang matang.
——-
Siang yang cukup terik pada awal bulan Agustus 2024 ketika saya tiba di Dusun Pasadia, Desa Seruni Mumbul, sebuah desa yang berlokasi di pesisir timur pulau lombok, yang membutuhkan sekitar tiga jam perjalanan dari pusat Ibu Kota Nusa Tenggara Barat, Mataram. Sambil menikmati kopi dan jajanan lokal yang terhidang, saya bersama rombongan mulai berbincang dan berbagi pengalaman dengan kelompok nelayan dampingan MDPI yang beranggotakan nelayan skala kecil baik perikanan tuna dengan metode handline maupun perikanan karang seperti kerapu dan gurita.
MDPI telah mendampingi kelompok nelayan di wilayah Lombok lebih dari delapan tahun, dimulai dari proses pendampingan kapasitas untuk pendataan perikanan tuna, yang merupakan kegiatan untuk mendukung upaya pengelolaan perikanan berkelanjutan, melalui proses promosi praktik perikanan yang legal, terlaporkan dan teregulasi. Seiring dengan pendampingan dan upaya kelompok untuk berkembang, sejak 2021 mereka membentuk koperasi nelayan yang menjalankan lini bisnis jual beli ikan hasil penangkapan nelayan lokal dan gerai nelayan yang menyediakan berbagai perlengkapan memancing atau melaut lainnya.
Mendengar cerita tentang koperasi dari para pengelolanya, saya langsung tertarik untuk belajar bagaimana koperasi dijalankan, siapa yang mengelola, dan seperti apa manfaat yang diterima oleh pengurus dan anggota koperasi tersebut. Kebetulan sekali, saya duduk di samping tiga perempuan, Nur Hasanah, Sunarni, dan Mulyani, mereka yang berperan sebagai pengelola aktif bisnis koperasi tersebut. Dengan beberapa pertanyaan yang saya ajukan, mereka mulai berbagi pengalaman memainkan peran perempuan dalam pengelolaan perikanan, terutama melalui pengelolaan bisnis koperasi kelompok nelayan.
Pembagian Peran Berbasis Gender
Seperti budaya dan norma di berbagai kelompok masyarakat nelayan di Indonesia, pembagian peran berbasis gender juga terlihat jelas pada relasi antara perempuan dan laki-laki terhadap pengelolaan perikanan di Desa Seruni Mumbul ini. Meskipun perlu diketahui bahwa pada perikanan karang banyak perempuan menggunakan metode gleaning untuk menangkap gurita ataupun ikan karang, perempuan di desa ini cenderung tidak terlibat aktif dalam proses penangkapan ikan, namun memainkan peran sebagai “nelayan tidak langsung”.
Peran mereka mencakup berbagai aktivitas penting, mulai dari mempersiapkan kebutuhan suami untuk melaut hingga mengolah hasil tangkapan. Produk olahan ini kemudian didistribusikan ke rantai pasok perikanan, dijual untuk mendukung perekonomian keluarga, atau dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kontribusi peran perempuan ini, meskipun sering tak terlihat, menjadi salah satu pondasi utama keberlanjutan ekonomi dan sosial dalam komunitas nelayan tuna.
Saya memahami pembagian peran yang terjadi ini bukan hanya karena adanya norma sosial yang disepakati, melainkan juga berdasarkan pengalaman kelompok masyarakat, studi kasus, dan juga pertimbangan manfaat dan risiko yang matang. Sebagai contoh, nelayan dikategorikan sebagai salah satu pekerjaan yang paling berbahaya di dunia (FAO) [1], dengan risiko berhadapan dengan cuaca ekstrim dan ombak yang dapat berakibat fatal. Terlebih lagi untuk perikanan tuna dengan area tangkapan yang jauh di perairan laut dalam, dimana risiko itu diperparah dengan kondisi cuaca ekstrim tidak menentu sebagai akibat dari krisis iklim.
Berdasarkan data International Labour Organization (ILO) [2], hingga tahun 2023 pekerjaan sebagai nelayan menyumbang sekitar 200.000 kasus kecelakaan kerja fatal setiap tahunnya. Didukung oleh catatan MDPI yang menunjukkan bahwa dari tahun 2016 hingga 2024, terdapat 35 kasus kecelakaan kerja sebagai nelayan, diantaranya ada sembilan korban meninggal dunia dan satu orang dinyatakan hilang.
Risiko tinggi ini mengingatkan saya pada sebuah percakapan dengan seorang istri nelayan di Gorontalo beberapa tahun lalu. Ia menceritakan bagaimana ia dan suaminya membuat keputusan penting untuk membagi peran. Demi memastikan keberlangsungan keluarga mereka, salah satu dari mereka selalu tetap di rumah. Dengan cara ini, jika kecelakaan terjadi di laut, masih ada yang menjaga dan membesarkan anak-anak mereka yang masih kecil.
Dari data, norma, hingga pengalaman langsung ini, saya semakin paham mengapa banyak perempuan, seperti Ibu Mulyani dan Ibu Sunarni, memilih peran sebagai pengelola hasil tangkapan. Melalui bisnis koperasi setempat, mereka tidak hanya mendukung keberlanjutan ekonomi keluarga, tetapi juga memperkuat komunitas nelayan dengan inovasi dan kerja sama. Pilihan mereka bukan sekadar persoalan ekonomi, melainkan strategi bertahan hidup yang dipadukan dengan tanggung jawab sosial dan cinta terhadap keluarga.
Upaya Peningkatan Ekonomi Keluarga
Diselingi dengan gelak canda khas masyarakat pedesaan yang akrab, saya melanjutkan obrolan dengan ibu-ibu pengelola koperasi tersebut untuk tahu lebih jauh kenapa mereka terlibat aktif dalam kelompok yang biasanya didominasi oleh laki-laki. Mereka bercerita bahwa meskipun ada pembagian peran berbasis gender, mereka masih berharap untuk berkontribusi terhadap perbaikan ekonomi keluarga mereka dengan cara mereka sendiri tanpa harus memaksakan menjadi nelayan tangkap. Menjual makanan ringan atau jajanan menjadi salah satu pilihan yang sering dijalankan oleh para istri nelayan. Lainnya, menjual ikan hasil tangkapan kepada penduduk sekitar, maupun warga desa lain yang berprofesi sebagai petani yang membutuhkan ikan sebagai lauk makan sehari-hari mereka. Dengan segala keterbatasan, baik dari latar belakang pendidikan dan kapasitas pengelolaan usaha kecil, mereka berupaya untuk mengisi waktu luang di tengah kesibukan mengurus urusan rumah tangga.
“Meskipun sebagai ibu rumah tangga, saya juga ingin mendapatkan tambahan, paling tidak untuk jajan anak sekolah, karena kebutuhan juga semakin banyak” – Nur Hasanah.
Pengembangan Koperasi dan Dampak Sosio-Ekonomi
Dengan iringan suara ayam kampung yang terdengar dari kejauhan, ibu-ibu pengelola koperasi ini melanjutkan cerita mereka tentang betapa semangatnya mereka menyambut adanya kegiatan pengembangan koperasi di desa mereka. Mereka melihatnya sebagai peluang bagi mereka untuk berpartisipasi dalam meningkatkan ekonomi keluarga dan kelompok nelayan secara umum.
Nur Hasanah, contohnya, dengan bekal pengalaman sebelumnya, yaitu jual beli sayuran, ia melihat koperasi sebagai ruang yang relevan baginya untuk mengembangkan kapasitas mengelola bisnis skala kecil. Berdasarkan potensi perikanan dan pelatihan-pelatihan pengelolaan keuangan, kini ia mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual-belikan ikan segar ke desa-desa petani dimana ia membeli sayuran. Demikian pula dengan Ibu Sunarni dan Mulyani, mereka berdua juga turut mendapatkan pendapatan tambahan dari bekerja sebagai pengelola bisnis koperasi, sekaligus dari hasil hasil usaha yang dibagi setiap ada Rapat Anggota Tahunan (RAT).
Hal menarik lainnya yang saya temukan dari cerita ibu-ibu ini adalah pentingnya pelatihan bagi individu maupun kelompok. Dengan sedikit senyum di wajahnya, Ibu Sunarni contohnya, bercerita bahwa keputusan untuk ikut pelatihan, terutama pengelolaan keuangan dalam koperasi telah membuka banyak wawasan aplikatif yang sangat membantunya dalam mengelola keuangan rumah tangga dan koperasi, yang ia tidak pernah dapatkan dari bangku sekolah.
“Pelatihan-pelatihan ini juga menjadi ruang interaksi sosial yang membantu mengurangi ketegangan sosial yang kadang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari” – Sunarni.
Sambil menyantap hidangan makan siang dengan olahan ikan hasil tangkapan nelayan lokal, saya juga belajar bahwa peran mereka melalui pengelola usaha koperasi tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, namun juga memberikan kemudahan akses untuk nelayan dan anggota koperasi pada khususnya untuk peralatan melaut dan pasar penjualan ikan. Mereka menceritakan bahwa melalui gerai nelayan mereka dapat membeli alat dengan lebih mudah dengan harga yang lebih terjangkau karena koperasi membeli secara grosir dalam jumlah yang besar. Pun demikian dengan kemampuan koperasi untuk membeli ikan dari nelayan sekitar dengan harga yang lebih stabil.
Peluang Jangka Panjang dan Kolaborasi
Pengalaman para perempuan pengelola bisnis koperasi ini hanyalah sekelumit dari kisah luar biasa yang terjadi di daerah dampingan MDPI. Setiap daerah memiliki cerita unik yang merefleksikan perjuangan dan peran perempuan dalam mendukung keberlanjutan komunitas nelayan. Secara pribadi, saya merasa antusias untuk terus belajar dan memahami lebih dalam mengenai pengalaman anggota kelompok nelayan dan koperasi di wilayah lain, terutama di Maluku dan Maluku Utara. Mimpi besar saya adalah mengumpulkan berbagai dampak yang telah tercipta—baik dalam bentuk narasi maupun angka—agar dapat dibagikan dan menjadi inspirasi yang lebih luas.
Namun, saya sepenuhnya menyadari bahwa untuk mencapai dampak yang signifikan, dibutuhkan pendampingan yang berkelanjutan serta penguatan kapasitas kelompok nelayan skala kecil. Upaya ini tidak bisa berjalan sendiri. Kolaborasi dengan berbagai pihak adalah kunci—baik dengan pemerintah, donatur, kelompok masyarakat, maupun aktor lain yang berperan dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan dan pemberdayaan masyarakat pesisir.
Kolaborasi ini tidak hanya memperluas jangkauan dampak, tetapi juga menjadi langkah strategis untuk memastikan bahwa setiap inisiatif berjalan dengan efektif dan berkelanjutan. Bersama, kita dapat menciptakan perubahan positif yang memberikan manfaat jangka panjang bagi komunitas pesisir dan ekosistem perikanan.
Referensi:
[2] ILO: https://www.ilo.org/resource/news/nearly-3-million-people-die-work-related-accidents-and-diseases
Buku ini disusun untuk mempermudah identifikasi spesies hewan ERS dan ETP yang
berinteraksi dengan nelayan selama aktivitas penangkapan tuna berlangsung. Semua
sumber ilustrasi gambar dan informasi pada buku ini telah dicantumkan pada daftar
referensi.
Kisah dari kampung nelayan kecil di 5 provinsi (NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara) diceritakan oleh masyarakat dampingan dan para pendamping MDPI. Mimpi besar untuk menjangkau lebih luas masyarakat pesisir dengan berupaya pada peningkatan kesejahteraan nelayan kecil melalui pengembangan kapasitas, membangun kemandirian, dan ketahanan ekonomi serta memperkuat institusi lokal demi mendukung perikanan berkelanjutan. Banyak pengalaman inspiratif, cerita sukses, kendala, kritikan, rasa bangga dan haru bercampur aduk dikisahkan dalam buku ini.
Penulis:
Gede Sughiarta, Nilam Ratna, Arroyan Suwarno, Alief Dharmawan,
Adjie Dharmasatya, Hairul Hadi, Muhammad Taeran, Muh. Alwi, Sahril,
Siti Zuleha, Sri Jalil, Hizran Sampalu, Karel Yerusa, Novita Ayu Wulandari,
M. Subhan Moerid.
Penyunting:
Gede Sughiarta, Arroyan Suwarno, Nilam Ratna, Alief Dharmawan
Desain/Layout:
Gede Sughiarta
Foto:
Yayasan MDPI, Gede Sughiarta
Illustrasi:
Panca Kumara