Menyoroti Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur: MDPI Bawa Suara Nelayan Skala Kecil Menggema di Makassar

Di Makassar, nelayan kecil dari Maluku, Lombok, hingga Ternate bersuara soal Penangkapan Ikan Terukur. Pemerintah berjanji, kebijakan berbasis data dan kuota tak akan membebani dan meminggirkan perahu mereka.

oleh Muhammad Alzaki Tristi

Makassar, Juli 2025 — Dari kursi merah auditorium IPTEKS Universitas Hasanuddin, suara-suara nelayan bercampur dengan obrolan akademisi dan pejabat kementerian. Tiga hari berturut-turut, ruang itu menjadi pusat perdebatan: bagaimana mengelola laut Indonesia agar tak hanya menghidupi hari ini, tetapi juga masa depan.

Foto bersama
Foto bersama para peserta forum Pertemuan Tahunan Unit Pengelola Perikanan (UPP) untuk WPPNRI 713, 714, dan 715 (Makassar, 16 Juli 2025).

Langit Makassar beberapa kali mendung, kadang gerimis sebentar lalu cerah kembali. Di dalam ruangan, suasananya tak jauh berbeda: intens, penuh tanya jawab, diselingi gelak tawa kecil. Di forum Pertemuan Tahunan Unit Pengelola Perikanan (UPP) untuk WPPNRI 713, 714, dan 715, para peserta berkumpul untuk membahas Penangkapan Ikan Terukur (PIT)—sebuah kebijakan yang jika dijalankan dengan baik, akan menjadi pijakan menuju perikanan berkelanjutan.

Gagasan PIT pertama kali mencuat lewat Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023, dengan menargetkan tujuh zona penangkapan di WPPNRI, melalui sistem kuota berbasis izin dan data tangkap. Pemerintah mengklaim kebijakan ini sebagai cara mengendalikan penangkapan berlebih, terutama oleh kapal industri.

Namun, kontroversi muncul sejak awal. Para nelayan kecil khawatir kuota lebih menguntungkan kapal besar. Batasan jumlah rumpon dan penutupan area pemijahan dianggap bisa memotong mata pencaharian nelayan skala kecil.

Data KKP menunjukkan, stok tuna sirip kuning di WPP 713-715 masih dalam kategori fully exploited—artinya sudah di ambang batas aman. Di sisi lain, kelompok nelayan kecil berargumen bahwa penangkapan mereka tidak signifikan terhadap penurunan stok dibanding kapal besar. “Masalahnya bukan di perahu kami,” ujar Ghafur, nelayan Ternate.

Di forum ini, Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) hadir bukan sekadar penonton, tapi sebagai anggota Indonesia Tuna Consortium, MDPI membawa sesuatu yang jarang ada di ruang-ruang kebijakan: suara nelayan skala kecil dan data yang dikumpulkan dari kerja lapangan sejak 2013.

Data dan Strategi: Jalan Panjang Menuju Perikanan Berkelanjutan

Presentasi MDPI, rumpon
Fisheries Lead MDPI, Putra Satria Timur memaparkan data terkait kondisi rumpon di WPP 713, 714, dan 715 (Makassar, 16 Juli 2025).

Bagi MDPI, keberlanjutan laut dimulai dari kebijakan yang kokoh. Kebijakan yang kokoh lahir dari data yang lengkap. Karena itu, diskusi forum ini banyak berkutat pada Harvest Strategy: seperangkat langkah pengelolaan perikanan berbasis sains.

Langkah-langkah itu tak sederhana—mulai dari pembatasan jumlah rumpon, penutupan daerah pemijahan, pengaturan jumlah hari melaut, hingga penetapan Total Allowable Catch (TAC) di setiap WPP. “Harvest strategy ini sangat ilmiah, jadi tidak mudah bagi nelayan skala kecil. Perlu waktu dan energi agar semua pihak bisa memahami dan menjalankannya,” kata Yasmine Simbolon, Direktur MDPI.

Baca juga: Nelayan Wailihang dan Tuna yang Kian Menghilang

Pemerintah pun mengamini. (Plt.) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Komjen Pol (P) Lotharia Latif, menekankan pentingnya pendataan yang akurat. “Tidak boleh ada yang tak tercatat. Kita perlu tahu stok ikan kita sehingga pengelolaannya tepat,” ujarnya.

Dari sisi pengelolaan, Syahril Abd Raup, Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan, menyebut MDPI sebagai mitra strategis. “Mulai dari perbaikan data, peningkatan sumber daya manusia, hingga pendampingan nelayan. Kehadiran MDPI membantu menghubungkan kebijakan di pusat dengan kebutuhan di lapangan,” ungkapnya.

Presentasi KKP
Pemaparan terkait PIT oleh KKP (Makassar, 16 Juli 2025).

Nelayan: Mereka yang Merasakan Dampaknya

Di forum kebijakan seperti ini, suara nelayan kerap tenggelam di tengah bahasa teknis. Namun MDPI memastikan mereka mendapat panggung.

Syahidu, nelayan tuna dari Lombok Utara (WPP 713), mengaku mulai memahami konsep kuota PIT. “Terima kasih MDPI sudah mengundang kami. Sekarang kami bisa ikut memahami prosesnya,” katanya.

Nelayan Ternate, forum,
Ghafur, nelayan Terntate (WPP 715) menyuarakan kondisi di daerah penangkapanya di depan forum (Makassar, 16 Juli 2025).

Dari Maluku (WPP 714), La Tohia menyuarakan harapan soal pengaturan rumpon yang adil dan kuota yang tidak membebani nelayan kecil. “Kegiatan ini sangat banyak pembahasannya… Saya sangat berharap agar rumpon ini dibatasi dan diatur dengan sangat adil, dan juga kami berharap agar pembagian kuota ini tidak memberatkan nelayan skala kecil nantinya,” ujarnya. Sementara Ghafur, nelayan Ternate (WPP 715), melihat proses ini dengan realisme. “Mengatur perikanan itu tidak semudah membalik telapak tangan. Banyak hal yang harus dibicarakan dan disepakati,” ujarnya.

Diskusi dakam forum
Suasana di breakout room hari kedua. Peserta berdiskusi secara intens. (Makassar, 17 Juli 2025).

Kehadiran mereka menjadi pengingat sederhana: kebijakan perikanan bukan hanya soal angka di dokumen, tapi juga kehidupan orang-orang di atas kapal kecil di tengah laut.

Data: Pondasi yang Masih Berlubang

Di ruang breakout WPP 713, 714, 715, diskusi menjadi lebih intens dan detail. Salah satu isu terbesar: pendataan perikanan tangkap yang belum merata, terutama untuk nelayan skala kecil dan data non-pelabuhan.

Presentasi, akademisi
Pemaparan data oleh Andi Irwan Nur, akademisi dari Universitas Halu Oleo pada sesi breakout room (Makassar, 17 Juli 2025).

Perbaikan perikanan tidak bisa dibangun di atas asumsi. Ia butuh fondasi kokoh, yaitu data. Andi Irwan Nur, akademisi dari Universitas Halu Oleo, menyebut pertemuan ini sebagai “lompatan penting” dan “tonggak bersejarah” bagi perikanan tangkap Indonesia. Ia menegaskan, rekomendasi yang dihasilkan forum ini adalah “tulang punggung perbaikan perikanan tangkap di Indonesia.” “Perbaikan perikanan tak bisa dibangun di atas asumsi,” tegas Andi.

diskusi intens, perdebatan
Suasana di breakout room hari kedua. Peserta berdiskusi secara intens (Makassar, 17 Juli 2025).

Namun, di balik optimisme itu, Putra Satria Timur, Fisheries Lead MDPI, menyoroti permasalahan krusial: minimnya data perikanan tangkap yang dimiliki dinas-dinas di daerah. “Data adalah basis yang utama agar kebijakan penangkapan ikan terukur itu bisa berjalan dengan optimal,” tegasnya.

Baca juga: Strategi Pemanfaatan: Kebijakan Terbaru Mewujudkan Perikanan Berkelanjutan

Untuk mengisi kekosongan data ini, MDPI mengambil peran aktif. Pertama, memperkuat dan mendampingi nelayan kecil untuk mengisi logbook. Kedua, mendorong digitalisasi logbook agar proses pendataan lebih efisien. Dan ketiga, memperkuat kolaborasi dengan akademisi, universitas, dan peneliti di seluruh wilayah kerja MDPI. Langkah-langkah ini, menurut Timur, adalah upaya nyata untuk menghasilkan penelitian dan publikasi ilmiah yang berdampak langsung pada perikanan berkelanjutan.

Menutup Forum, Membuka Harapan

Hari terakhir forum, langit Makassar kembali cerah. Para peserta berkemas, sebagian membawa pulang dokumen rekomendasi, sebagian membawa catatan tindak lanjut. Pertemuan Tahunan UPP WPPNRI 713, 714, dan 715 telah usai. Namun, gaungnya masih terasa, meninggalkan jejak optimisme sekaligus pengingat akan pekerjaan rumah yang menanti. Di balik diskusi intensif, perdebatan sengit, dan janji-janji kebijakan, ada satu benang merah yang mengikat: komitmen untuk menjaga laut sebagai warisan tak ternilai.

Presentasi, forum, diskusi, KKP, Pemerintah
Suasana Pemaparan Pembahasan hasil Break-out Room (Makassar, 18 Juli 2025).

Bagi MDPI, pertemuan ini adalah satu simpul dalam jaring besar perjalanan panjang menuju perikanan berkelanjutan. Dukungan pada kebijakan PIT, pelibatan nelayan, hingga kerja-kerja pendataan adalah benang-benang yang saling mengikat dalam Harvest Strategy. Di simpul ini, suara nelayan sudah terdengar, data sudah dibicarakan, dan komitmen sudah diikat.

Nelayan dalam forum pemerintah
Antusiasme para nelayan yang mewakili masing-masing WPP (Makassar, 18 Juli 2025).

Namun, jalan ke depan masih panjang. Keberlanjutan laut tak akan tercapai hanya oleh nelayan atau pemerintah. Publik pun harus ikut mendorong kebijakan yang berpihak pada kelestarian dan nelayan skala kecil. Dukungan publik terhadap kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan dan nelayan skala kecil adalah energi tambahan bagi perjuangan ini. Dengan kesadaran kolektif, publik bisa memastikan bahwa harapan yang ditenun di Makassar akan menjadi kenyataan di setiap jengkal laut Indonesia—jika suara-suara itu terus menggema, dari ruang rapat hingga ke setiap jengkal laut Indonesia.