Merintis kemandirian koperasi nelayan Fair Trade Ternate

Oleh: Luh De Suriyani

Suasana kampung nelayan di Kelurahan Jambula, Kota Ternate, Maluku Utara terlihat tenang. Kapal-kapal nelayan kecil penangkap tuna masih parkir karena sudah lebih seminggu ini paceklik tangkapan tuna. Rumah Sumarno Evendi, nelayan muda 34 tahun juga terlihat lengang. Ia adalah Manajer Koperasi Bubula Ma Cahaya, sebuah koperasi nelayan Fair Trade penangkap tuna di Ternate.

Rumahnya juga jadi sekretariat koperasi, area tersibuk saat musim tangkapan. Pengurus koperasi akan sibuk mencatat nota dan logbook hasil tangkapan, kemudian membayar hasil tangkapan hari itu juga. Senja hingga malam hari, para mama, istri nelayan biasanya menunggu suaminya mendarat sambil berharap kabar baik setelah melaut lebih dari 12 jam.

Anggota koperasi, Aryanti pun bersiaga menerima dan mencatat hasil tangkapan nelayan. Hal yang dilakukan adalah membuat nota. Keterangan yang dicatat di antaranya tanggal, kode ikan (M atau L), berat, dan harga. Salinan nota diberikan ke nelayan. Catatan tersebut juga ditulis lagi di buku besarnya. Ikan M artinya masuk, kualitas daging baik, dan bisa dibeli pabrik yang jadi eksportir tuna ini nantinya. Sedangkan ikan L artinya lokal, kualitas daging kurang baik, harganya separuh lebih murah dari kategori M.

“Ikan L biasanya karena kualitas ikan sudah tidak baik, dagingnya pucat, mungkin karena ikan sakit,” ujar Aryanti, istri Sumarno yang akrab dipanggil mas Nano. Keputusan M atau L ada di tangan petugas pengecekan dari perusahaan, istilahnya checker.

Koperasi akan menggelar rapat rutin membahas kendala, mengajak Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) yang mendampingi sertifikasi fair trade ini. Misalnya jika checker terlambat datang dan ide koperasi untuk program kebersamaan sosial dan gotong royong.

Sebagai nelayan fair trade, Sumarno merasakan perbedaan cara pandang tentang perikanan. Kondisi kini menurutnya memburuk dibanding beberapa tahun lalu. Pada 2016, ia pernah menangkap 18 ekor tuna. Terakhir, tangkapan terbanyaknya 9 ekor. Koperasi yang dimiliki oleh sejumlah nelayan fair trade ini baru berdiri Maret 2021.

Koperasi mewadahi kelompok nelayan tuna Kelompok Marimoi, yang artinya mari bersatu. Rata-rata daya mesin kapal nelayan 15 PK, dengan ukuran kapal 1 GT, dan semua kapal kelompok harus dilengkapi surat kapal. Selain itu ada Borang catatan harian perjalanan memancing nelayan (logbook).

“Berkah ikan tuna bagi nelayan dengan jaga laut, jangan tangkap berlebihan. Kita pancing ulur tapi tantangannya kapal besar dengan jaring, kapal ilegal menjaring semuanya, merusak karang,” sebut Sumarno.

Sebelum ada koperasi, ia jual tuna ke supplier. Mulai Juli 2021, koperasi berjalan. Jika hasil tangkapannya terlalu kecil, kurang dari 18 kg kemungkinan tidak dibeli. Maka nelayan akan jual sendiri di pinggir jalan, harganya Rp20 ribu/piring berisi 10 potong tuna.

Mimpinya, koperasi ini bisa berkembang dan melayani nelayan sampai keluar daerah. “Torang masyarakat Maluku, saat paceklik diam, saya maunya bergerak,” harapnya. Ia berencana ekspansi layanan koperasi ke nelayan Halmahera Barat karena di sana ada kampung nelayan tuna tapi tidak ada supplier karena dulu listrik hanya menyala malam. Merepotkan produksi dan penyimpanan es, bahan penting untuk memastikan kualitas daging tuna. Kini, listrik mulai bisa menyala siang dan malam.

Kebanggaan juga mulai menyeruak di kelompok nelayan tuna fair trade dan koperasinya. Jumlah anggota koperasi fair trade saat ini 23 orang, termasuk istri nelayan. Karena peran mama-mama nelayan ini sangat penting dalam pengadaan dan penyiapan sarana melaut dan mengurus pencatatan serta pembayaran saat hasil didaratkan.

Para mama memiliki kemampuan negosiasi harga dan ikut mengawasi saat checker menilai kualitas ikan. “Masuk atau lokal? Kita dapat lihat dagingnya, kalau lokal putih hancur, masuk dagingnya merah kenyal. Mungkin ikan baku perlawanan atau sakit,” tutur Endang.

Para mama juga yang berperan menjual hasil tangkapan yang tidak masuk kategori. Dijual 10 potong Rp20 ribu. Di tangan para mama, semua bagian tuna jadi uang mulai dari kepala, tulang, dan daging dijual terpisah. Jika ikan seberat 6 kg bisa menghasilkan sekitar Rp200 ribu. “Biar uang minyak melaut kembali. Mama juga yang isi logbook kalau suami capek,” lanjutnya.

Nurvita, 29 tahun adalah istri nelayan termuda Rahmat, 31 tahun. Suaminya dulu pegawai koperasi, dan pernah bekerja di perusahaan tambang nikel. Kini memilih jadi nelayan tuna. Ia sudah pernah merasakan mendapat Rp3 juta tunai dari dua ekor tangkapan. Para anggota koperasi baru saja gotong royong membantu pembangunan rumahnya. Semangat kekeluargaan inilah yang menguatkan keluarga nelayan dalam masa paceklik ini.

Tulisan selengkapnya: Mongabay Indonesia