PIT 2026: Akankah Nelayan Sulawesi Utara Tersisih di Lautnya Sendiri?

Oleh Karel Yerusa, Putra Satria Timur

Di tengah gelombang besar kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang akan diterapkan mulai Januari 2026, nelayan tuna Sulawesi Utara bertanya-tanya: masihkah mereka punya ruang bergerak di laut mereka sendiri? Pertanyaan itu mengemuka dalam pertemuan reguler Komite Pengelolaan Bersama Perikanan (KPBP) Tuna di Bitung, 26 Agustus 2025, yang mempertemukan 67 pemangku kepentingan untuk mencari solusi bersama.

———

Pertemuan Reguler Komite Pengelolaan Bersama Perikanan (KPBP) Tuna Provinsi Sulawesi Utara kembali digelar di Kota Bitung. Tahun ini, pertemuan mengangkat tema “Harmonisasi Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) dan Pelayanan Pelabuhan untuk Mendukung Peningkatan dan Keberlanjutan Operasional Perikanan Tuna Handline dan Pole and Line di Sulawesi Utara.”

Forum ini menjadi ruang penting untuk membicarakan bagaimana kebijakan PIT yang akan diberlakukan mulai Januari 2026 dapat diselaraskan dengan realitas di lapangan. Sebanyak 67 peserta hadir, terdiri dari pejabat pemerintah pusat dan daerah, akademisi, asosiasi industri, hingga nelayan. Pertemuan ini terselenggara dari kolaborasi Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) dan Asosiasi Perikanan Pole and Line dan Handline Indonesia (AP2HI) yang difasilitasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah (DKPD) Sulawesi Utara.

KPBP, FCMC, Pertemuan, nelayan, stakeholder
Pertemuan reguler Komite Pengelolaan Bersama Perikanan (KPBP) Tuna Sulawesi Utara, mempertemukan 67 pemangku kepentingan untuk membahas isu perikanan di WPP 715 (Bitung, 26 Agustus 2025)

Isu Utama yang Muncul

Sejak pagi hingga sore hari, diskusi berlangsung intens dan penuh dialog. Salah satu isu yang paling banyak disorot adalah ketidaksesuaian aturan zonasi PIT dengan praktik nelayan Handline (HL) dan Pole and Line (PL). Selama ini, kedua jenis alat tangkap tersebut terbiasa berpindah antara WPP 715 dan 716, terutama karena kebutuhan umpan yang sering kali tidak tersedia di satu wilayah saja. Aturan zonasi yang kaku dianggap berpotensi mempersempit ruang gerak nelayan.

Selain itu, para peserta juga mengangkat persoalan penurunan produksi yang dialami nelayan Pole and Line akibat semakin maraknya operasi Purse Seine Pelagis Besar (PSPB) di WPP 715. Beban lain yang dirasakan adalah tingginya biaya operasional, mulai dari harga logistik, PNBP sebesar 10 persen, hingga kewajiban penggunaan perangkat Vessel Monitoring System (VMS) yang harganya tidak sesuai dengan besarnya hasil tangkapan nelayan.

Masalah administrasi juga tidak kalah pelik. Proses penerbitan Surat Hasil Tangkapan Ikan (SHTI) yang memakan waktu lama, kerap menghambat akses ekspor dan klaim sertifikasi produk. Belum lagi persoalan infrastruktur di kepulauan kecil, seperti kelangkaan es balok, keterbatasan listrik, dan minimnya cold storage, yang semakin menekan nelayan.

Suara nelayan terdengar lantang dalam forum ini. “BBM mahal, aturan zonasi membatasi ruang gerak, dan kapal PL makin sedikit akibat kebijakan yang tidak memahami kepentingan nelayan. Dulu kapal PL ada sebanyak 30 kapal di tempat kami, kini tersisa 5–6 kapal saja,” ungkap Junias Kokonama, perwakilan nelayan Pole and Line asal Bitung.

Nelayan, dialog, diskusi, KPBP, FCMC, PIT
Suara nelayan Sulawesi Utara dalam Pertemuan reguler Komite Pengelolaan Bersama Perikanan (KPBP) Tuna Sulawesi Utara (Bitung, 26 Agustus 2025)

Di sisi lain, para pemangku kepentingan juga menyampaikan pandangan mereka. Direktur MDPI, Jasmine Simbolon, menekankan pentingnya pencatatan data yang rapi menjelang penerapan kuota 2026. “Logbook harus terisi dengan baik, kapal-kapal nelayan kecil juga perlu diregistrasi agar pembagian kuota lebih adil di daerah,” jelasnya.

Baca juga: MDPI dan Penguatan Social Risk Assessment dalam Perikanan

Ketua AP2HI, Abrizal Andrew Ang, menambahkan perspektif industri dengan menegaskan bahwa masa depan pasar global semakin menuntut produk perikanan yang ramah lingkungan. “Masa depan adalah milik mereka yang konsisten. Permintaan pasar global semakin mencari produk ramah lingkungan, maka kita harus satu suara sebelum menghadapi dunia luar,” katanya.

Pertemuan, KPBP, FCMC, PIT, dialog
Pertemuan reguler Komite Pengelolaan Bersama Perikanan (KPBP) Tuna Sulawesi Utara, mengundang para ahli dan perwakilan dari berbagai organisasi dan lembaga (Bitung, 26 Agustus 2025).

Rekomendasi Forum

Dari rangkaian diskusi yang alot tersebut, forum kemudian merumuskan sejumlah rekomendasi. Para peserta mendorong adanya fleksibilitas aturan agar nelayan HL dan PL dapat beroperasi di WPP 715 dan 716. Mereka juga mengusulkan penutupan area operasi PSPB di WPP 715, penurunan tarif PNBP untuk alat tangkap ramah lingkungan, serta pemberian subsidi perangkat VMS bagi kapal kecil di bawah 30 GT yang menangkap ikan di atas 12 mil laut. Di bidang administrasi dan data, forum mendesak percepatan penerbitan SHTI, bahkan jika perlu dapat dilakukan di pelabuhan lain, serta digitalisasi pencatatan tangkapan dari nelayan hingga industri. Penambahan jumlah enumerator dan penyuluh lapangan juga dinilai sangat penting untuk memastikan akurasi data.

Dalam hal daya saing dan branding, forum menyepakati perlunya pembentukan “Indonesian Tuna Price” sebagai standar harga nasional serta menggagas lahirnya “Indonesian Sustainability Certification” yang diharapkan dapat memperkuat posisi tuna Indonesia di pasar global. Tidak ketinggalan, gagasan pengembangan infrastruktur juga mengemuka, termasuk program penanaman mangrove untuk mendukung ketersediaan umpan hidup, pendataan ulang rumpon yang disertai program amnesti, serta pembangunan fasilitas cold storage di pulau-pulau kecil.

Moderator forum, Prof. Kawilarang Alex Masengi, menutup pertemuan dengan sebuah refleksi. “Potensi perikanan Sulut mencapai Rp10 triliun per tahun, tapi PAD hanya Rp1,2 miliar. Ironi ini harus jadi alarm,” ujarnya.

Baca juga: Nelayan Wailihang dan Tuna yang Kian Menghilang

Tindak Lanjut untuk Hadapi PIT

Pertemuan reguler KPBP Tuna ini diharapkan menjadi dasar bagi tindak lanjut yang lebih konkret. Forum sepakat untuk melakukan evaluasi rutin setiap empat bulan agar rekomendasi yang telah dirumuskan tidak hanya berhenti di atas kertas, melainkan dapat benar-benar menjadi pertimbangan dalam implementasi kebijakan nasional maupun daerah.

foto bersama, KPBP Sulut, PIT
Foto bersama para peserta pertemuan reguler Komite Pengelolaan Bersama Perikanan (KPBP) Tuna Sulawesi Utara (Bitung, 26 Agustus 2025)