Pentingnya Inventarisasi Rumpon pada Nelayan Tuna Handline di PPI Oeba

Kata rumpon mungkin asing bagi telinga orang awam. Namun bagi nelayan tuna di sekitar Kupang, kata ‘”rumpon” jika disandingkan dengan kehidupan mereka ibarat dua mata sisi uang yang tidak dapat dipisahkan. Benda yang mengapung di permukaan laut dengan atraktor dari daun kelapa sebagai nutrient yang dipasang hingga kedalaman 5-7 m ini, diakui oleh nelayan sebagai alat bantu yang yang dapat meningkatkan hasil tangkapan, efisiensi bahan bakar, memperpendek waktu penangkapan dan daerah penangkapan yang tetap. Sehingga tidak heran jika nelayan tuna sulit dipisahkan dari rumpon.

Namun demikian, berbagai kajian mengungkapakan bahwa penggunaan rumpon yang massive atau berlebihan dan padat dapat menghalangi ruaya atau pergerakan alami ikan. Sehingga ikan terkumpul di satu tempat dan tertangkap sebelum dewasa serta meningkatnya tangkapan non target. Terlebih lagi pemasangan rumpon yang tidak mengantongi izin dan ditempatkan secara tidak teratur dapat menimbulkan konflik horizontal antar nelayan serta mengganggu jalur pelayaran laut.

Melihat dua sisi yang muncul dari penggunaan rumpon ini, maka pengelolaan rumpon menjadi salah satu prasyarat untuk dapat terus digunakan dalam melakukan penangkapan ikan secara berkelanjutan baik secara ekonomi, social dan ekologis. Untuk itu berbagai forum diskusi telah banyak dilakukan sebagai langkah awal dalam pengelolaan rumpon, semisal pertemuan Komite Pengelolaan Data Perikanan (KPDP) Tuna, Cakalang, Tuna (TCT) Provinsi Nusa Tenggara Timur VII yang diinisiasi oleh Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) bersama Dina Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi NTT dan plekau usaha tuna. Pertemuan yang terakhir adalah sosialisasi penataan rumpon yang dilakukan oleh DKP Provinsi NTT pada 27 September 2018 di Hotel Swissbell, Kupang. Petemuan tersebut menghasilkan kesepakatan dalam melakukan aksi awal berupa inventarisasi rumpon sebagai database untuk pengelolaan rumpon yang lebih baik.

Menindaklanjuti hal tersebut, di awal bulan Oktober yang lalu staff lapangan MDPI mulai melakukan inventarisasi rumpon. Tidak mudah untuk mengumpulkan para nelayan di satu tempat dalam menggali informasi rumpon, mengingat aktivitas nelayan yang jarang berada di daratan. Untuk itu tim MDPI mendatangi satu per satu pelaku usaha tuna dan nelayan tuna yang berada di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Oeba. Berbekal form yang telah disusun DKP provinsi NTT, staff lapangan mulai melakukan interview dengan nelayan tuna.

Para nelayan tuna tampak begitu antusias dalam menyampaikan informasi tentang rumpon yang mereka miliki untuk kebutuhaan inventarisasi ini. Mereka memberikan informasi tentang titik koordinat rumpon dan jumlah rumpon yang dimiliki.  Begitu pula halnya dengan pelaku usaha tuna yang menaungi nelayan-nelayan tersebut seperti Usaha Dagang (UD) Bara, UD Tunas Harapan dan CV Armada Sanjaya. Hasil inventarisasi yang diperoleh menunjukkan bahwa nelayan tuna yang berpangkalan di PPI Oeba memiliki 41 rumpon yang terdiri dari 10 kelompok pemilik yang berasal dari 36 kapal. Patong, seorang nelayan tuna hand line di PPI Oeba menyebutkan tentang hal tersebut. “Kolaborasi kepemilikan rumpon merupakan salah satu kegotongroyongan untuk dapat sharing biaya pembuatan,” katanya.

Namun, kata dia, data titik lokasi rumpon tidak boleh diketahui oleh kapal di luar kelompok karena dapat terjadi pencurian ikan di rumpon tersebut. Praktik ini tentunya dapat menjadi salah satu prinsip pengelolaan rumpon ke depannya, yang mana setiap kapal tidak perlu memiliki satu atau lebih rumpon secara pribadi sehingga dapat mengurangi kepadatan rumpon di laut. Sementara itu, Asis, salah satu nelayan berharap ada upaya tindak lanjut dari pemerintah. “Supaya melalui inventarisasi rumpon ini, ada tindak lanjutan dari pemerintah untuk dapat melegalkan rumpon yang mereka miliki melalui penerbitan SIPR (Surat Izin Pemasangan Rumpon, Red), dan rumpon mereka terbebas dari jalur pelayaran kapal,” katanya.(*)

Written by: Alief Dharmawan