Koalisi Indonesia, Filipina, dan Vietnam untuk Manajemen Tuna Madidihang

2 Mei 2024, Bali – Merayakan Hari Tuna Internasional tahun ini, ahli perikanan beserta pemerintah Indonesia, Filipina, dan Viet Nam mendorong penyamaan visi dan strategi perikanan tuna madidihang yang berkelanjutan secara regional, khususnya di wilayah Samudra Pasifik bagian Barat Tengah, yang juga disebut WCPO (Western Central Pacific Ocean).

Pada dialog keempat tahun ini, para delegasi menyatakan adanya peningkatan kebutuhan perlindungan stok tuna madidihang (Thunnus albacares) di WCPO sebagai wilayah penghasil tuna terbesar di dunia, untuk menghindari risiko kelangkaan stok di masa depan.

Tuna madidihang (Thunnus albacares), komoditas perikanan bernilai ekonomi tinggi yang populasinya terus menurun di Samudra Hindia, kini turut diperhatikan di wilayah Samudra Pasifik Barat Tengah. Di Indonesia, komoditas ini banyak ditangkap oleh nelayan kecil bagian tengah dan timur Indonesia.“Kondisi Samudra Hindia terkini merupakan konsekuensi dari tidak adanya aksi pengelolaan perikanan. Buruknya pengelolaan menyebabkan kondisi overfished (penangkapan ikan berlebihan) pada tuna madidihang di wilayah tersebut. Hal ini menjadi sebuah peringatan akan apa yang dapat terjadi di WCPO jika pengelolaan tuna di wilayah tersebut tidak dilaksanakan dengan baik,” ujar Bubba Cook, Manajer Program Western and Central Pacific Tuna, WWF.

Meski telah dinyatakan overfished oleh Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), populasi tuna madidihang terus mengalami penurunan di Samudra Hindia. Rencana pemulihan stok tuna madidihang yang kritis masih menjadi perdebatan di antara para pemangku kepentingan dan akan dibahas kembali pada pertemuan tahunan IOTC di Bangkok, 13-17 Mei 2024 mendatang. Para pelaku perikanan dipanggil untuk tidak menunda aksi pengelolaan tuna dengan dalih membutuhkan lebih banyak data maupun waktu.

Dr. Fayakun Satria, mewakili BRIN dan Indonesia, dalam dialog penyelarasan visi dalam pengelolaan tuna madidihang berdasarkan sains dan berkelanjutan.

“Terlalu berisiko jika kita berasumsi laju penurunan populasi madidihang di wilayah WCPO akan mengikuti tren data terkini. Dengan adanya faktor perubahan iklim, tingkat rekrutmen ikan yang rendah, serta faktor-faktor kompleks lainnya, kita perlu melaksanakan strategi pengelolaan yang telah disepakati agar populasi tuna madidihang tetap bertahan selagi populasinya masih dalam batas wajar,” ujar Dr. Fayakun Satria, Kepala Pusat Riset Perikanan, BRIN.

Baca juga: Mengulik Strategi Pemanfaatan Tuna Tropis di Indonesia

Penangkapan ikan berlebih dan peningkatan suhu laut telah mengguncang dinamika perikanan tuna hingga mempengaruhi masyarakat pesisir yang bergantung padanya. Berdasarkan pengalaman komunitas nelayan tuna di Selat Mindoro, Filipina, mereka mengaku kini harus memacu kapal hingga 40 kilometer dari tepi pantai. Kini, mereka dapat melaut hingga satu sampai dua minggu untuk mendapatkan hasil tangkapan yang sama banyaknya dengan dengan 3-7 hari melaut di masa lalu.

Pemerintah Indonesia telah mengumumkan rencana pengurangan kuota tangkapan tuna madidihang dan cakalang di wilayah perairan kepulauan hingga 10% untuk tiga tahun mendatang. Hal ini dilakukan sebagai implementasi pendekatan Strategi Pemanfaatan Tuna Tropis yang telah disepakati oleh para pelaku perikanan tuna di Indonesia tahun lalu. Di sisi lain, Filipina yang 10% dari total produksi perikanan nasionalnya berasal dari perikanan tuna, melakukan langkah pengelolaan tuna melalui kebijakan Strategi Pengelolaan Tuna Nasional yang menjadi kunci untuk menyeimbangkan kebutuhan antara sosio-ekonomi dan perikanan berkelanjutan.

Baca juga: Indonesia to cut tuna harvest in bid for more sustainable fishery

Meski 43% produksi tuna madidihang di WCPO bersumber dari perikanan kepulauan, sebagian besar hasil produksinya (57%) beredar di luar wilayah perairan kepulauan WCPO. Hal ini membuat penyelarasan strategi pemanfaatan ketiga negara menjadi sangat penting agar stok tuna sirip kuning di WCPO dapat dikelola dengan efektif.

“WCPFC perlu memperhatikan implementasi strategi pemanfaatan yang kuat. Ini artinya, kita perlu mengesampingkan kepentingan politis untuk menghindari praktik eksploitasi sumber daya ikan yang dapat menghancurkan sektor perikanan,” jelas Cook.

Didukung oleh WWF dan Masyarakat dan Perikanan Indonesia, rangkaian dialog ini bertujuan untuk mendukung pemerintah dalam menyamakan pemahaman akan tujuan, tantangan, dan ambisi kebijakan pengelolaan tuna tropis masing-masing negara. Koalisi informal ini akan terus menggawangi diskusi antara Indonesia, Filipina, dan Viet Nam dalam mempererat komitmen dan kerja sama regional di Western Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC).

“Koalisi tiga negara ini merupakan wadah yang penting untuk mendiskusikan posisi masing-masing negara dalam pengelolaan stok perikanan tuna di wilayah ini, mengingat ketiga negara merupakan negara kepulauan dan berkembang. Dengan bekerja sama, kita dapat mengidentifikasi isu-isu penting untuk mengambil langkah dan diskusi bersama di level WCPFC,” ujar Joeren Yleana, Pengawas Akuakultur Biro Sumber Daya Perikanan dan Akuatik (BFAR) Filipina.

“Keterlibatan antara Viet Nam, Indonesia, dan Filipina untuk mengawal stok tuna bukanlah hal baru. Kami telah bekerja sama lebih dari 10 tahun pada isu ini melalui wadah West Pacific East Asia Project. Dengan berdialog rutin, kami telah mengambil langkah konkrit dalam mempererat kolaborasi dan kepercayaan satu sama lain. Di sini, kami dapat mengidentifikasi dan membahas isu-isu penting yang, tidak hanya menguntungkan ketiga negara, tetapi juga pihak dan lembaga lain pada level yang lebih besar, seperti WCPFC,” jelas Dr. Hai Duyen Vu, Direktur Perikanan Tangkap Department of Fisheries (DoF) Viet Nam. Kini, Viet Nam sedang menyusun rencana pengelolaan tuna pertamanya yang akan mengatur kuota perikanan dan zona tangkap yang diperbolehkan.

Koalisi ini menegaskan bahwa visi dan strategi regional untuk perikanan tuna sirip kuning yang berkelanjutan adalah suatu keharusan. Hal ini akan berpengaruh pada komitmen penting lainnya terhadap isu perubahan iklim, keanekaragaman hayati, dan tujuan pembangunan berkelanjutan lainnya; sebuah poin yang telah disampaikan pada pertemuan tahunan WCPFC lalu. Selain itu, koalisi ini juga membahas topik-topik perikanan penting lainnya, termasuk kesejahteraan nelayan skala kecil, pengurangan tangkapan tuna kecil, pemberantasan praktik perikanan ilegal, serta penguatan keamanan pangan dan resiliensi perubahan iklim melalui penguatan pasar domestik dan keseimbangan sosio-ekonomi.

Peta distribusi produksi dan metode tangkap tuna sirip kuning WCPO (2012-2021) berdasarkan presentasi Finlay Scott (perwakilan Secretariat of the Pacific Community) pada pertemuan dialog VIP ketiga. Strategi pemanfaatan tuna ketiga negara ini sangat penting untuk keberlanjutan perikanan tuna madidihang di wilayah distribusi perikanan besar lainnya. Sekitar 56% tangkapan tuna madidihang berasal dari seluruh wilayah WCPO. Sumber: Magnusson et al, Yellowfin tuna assessment peer review status update, WCPFC-SC18-2022/SA-IP-08.