Tuna Neritik di Bali: Menjaga Tradisi dan Ketahanan Pangan Lokal

oleh Kai Garcia-Neefjes

Tahukah Anda jika tongkol berkerabat erat dengan tuna besar? Tongkol termasuk dalam kelompok tuna neritik, yang merupakan spesies pelagis yang tersebar di perairan pesisir tropis. Tuna neritik banyak tersebar di Indonesia, salah satunya di sekitar Karangasem, Bali, yang juga menjadi daerah produsen tongkol terbesar di provinsinya.

MDPI mulai mengerjakan aktivitas yang berfokus pada tuna neritik di Karangasem sejak November 2022, dengan dukungan dari The Packard Family Foundation. Penilaian kami melihat adanya dua desa kunci penghasil tongkol, yakni Desa Antiga dan Desa Manggis, di Karangasem.

Jika Anda mengunjungi pedesaan nelayan di Karangasem, Anda akan langsung disuguhkan dengan pemandangan bukit-bukit bertebing dan berbatu. Pantainya berpasir gelap akibat aktivitas gunung berapi, dengan jejeran puluhan kapal kecil khas Bali, “Jukung”.

Dua nelayan Karangasem yang baru pulang melaut. Di belakangnya adalah jukung bertenaga mesin yang sedang diangkut nelayan.

Umumnya, jukung dioperasikan dengan mesin motor bertenaga 15 horsepower. Jika angin sedang bagus, mesin akan dimatikan dan jukung akan melaju menggunakan layar warna-warni yang khas. Ukuran jukung juga cukup kecil; hanya 5-6 meter panjangnya, dan nelayan biasa menggunakan jaring insang, pancing ulur, atau pancing tonda untuk menangkap ikan selama beberapa jam di laut.

Dasar aturan pengelolaan tuna neritik

Tuna neritik tidak hanya meliputi tongkol saja. Tidak seperti tuna-tuna besar dan cakalang, tuna neritik tidak beruaya (migrasi) laut lepas laut. Mereka biasa beruaya di sekitar lautan tropis dan subtropis dekat dengan daratan.

Setidaknya, terdapat enam spesies tuna neritik yang pengelolaannya diatur oleh Indian Ocean Tuna Commission (IOTC)¹–salah satu dari 17 Regional Fishery Management Organization (RFMO) yang mengatur pengelolaan perikanan secara regional. Mereka adalah: Tongkol abu-abu (Thunnus tonggol), Tongkol krai (Auxis thazard), Tongkol lisong (Auxis rochei), Tongkol komo (Euthynus affinis), Tenggiri (Scomberomorus commerson), dan Tenggiri papan (Scomberemorus guttatus).

Tongkol lisong hasil tangkapan nelayan lokal.

IOTC membentuk Kelompok Kerja Tuna Neritik (Working Party on Neritic Tunas)² yang berisikan ahli perikanan dari negara-negara anggotanya. Kelompok kerja ini berfungsi untuk memantau, menilai, dan mengumumkan informasi terbaru terkait kebijakan pengelolaan tuna neritik.

Sebagai negara anggota IOTC, Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) turut mengatur pengelolaan spesies-spesies tuna neritik dalam Permen KP. No. 121/2021 terkait Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna (NTMP).

Baca juga: What is a Regional Fishery Management Organization? The Pew Charitable Trusts

Tongkol: Konsumsi sehari-hari bagi warga dan adat Bali
Agus, Field Implementer MDPI, sedang memegang tongkol yang diberikan sebagai hadiah dari nelayan.

“Sejak kecil, tongkol adalah makanan yang biasa dihidangkan di meja makan rumah saya,” ujar Agus, rekan kerja kami di MDPI. Ia berasal dari Klungkung, yakni daerah yang berbatasan dengan Karangasem, dan kini menjabat sebagai Field Implementer di MDPI.

Melalui wawancara telepon seluler, ia berkata, “Kabupaten Karangasem adalah daerah penghasil tongkol yang besar, khususnya jenis tongkol lisong. Semua orang Bali tahu itu.”

Disebut juga sebagai ‘Awan’ dalam bahasa Bali, tongkol memiliki peran penting bagi masyarakat pesisir Bali. Orang Bali biasa menggunakan tongkol untuk masakan tradisional dan sebagai persembahan upacara keagamaan untuk menghormati laut.

“Jadi, ceritakan pada kami tentang pekerjaanmu. Bagaimana rasanya bisa bekerja dekat dengan masyarakat lokal?”

Agus: “Saya senang melakukan pekerjaan ini. Rasanya, hasil jerih payah saya bisa berdampak positif secara langsung bagi para nelayan dan keluarganya. Saya juga banyak belajar dari mereka soal teknis perikanan, spesies ikan, metode tangkap, bahkan juga ilmu adat dan istiadat.

Tugas saya di lapangan adalah mendampingi nelayan dan mengumpulkan data yang berguna bagi pengelolaan tuna neritik. Dari data yang terkumpul sejak 2023, kita bisa tahu bahwa produksi terbesar tuna neritik ada pada bulan April, sedangkan yang paling sedikit di bulan Februari.

Informasi seperti ini yang sebelumnya tidak pernah kita ketahui. Data yang kita kumpulkan memberikan gambaran terkait kondisi perikanan di lapangan. Saya juga senang mendapat banyak teman dari masyarakat pesisir di sini.”

Bagaimana dengan tantangannya?

Agus: “Terkadang, saya merasa kesulitan saat nelayan tidak membawa pulang ikan. Kejadian seperti ini membuat saya sedih, serta membingungkan: Haruskah saya menghampiri mereka untuk mendiskusikan temuan itu, atau memberi mereka waktu untuk sendiri?”

Setiap paginya, masyarakat pesisir Karangasem berkumpul di pantai, menunggu nelayan pulang, dan membeli tongkol hasil tangkapan dengan jaring insang dan jukung.

Nelayan kami dampingi sadar akan perubahan lokasi tangkap yang semakin jauh dengan daratan. Mereka juga sadar bahwa ukuran ikan semakin mengecil. Kedua temuan ini bisa menjadi indikasi adanya gangguan pada stok tuna neritik di laut.

“Namun saya percaya bahwa, sebagai OMS, kita bisa membantu masyarakat pesisir dengan kinerja pendukung lainnya. Misalnya, mengaderkan kelompok Champion (penggerak perubahan) yang mau bekerja di bidang perikanan berkelanjutan, mengupayakan mata pencaharian alternatif, dan menyelisik peluang pasar agar usaha nelayan bisa berkembang,” tambah Agus.

Agus juga sempat berkata bahwa, salah satu alasan utama mengapa MDPI mengerjakan tuna neritik adalah, spesies-spesies ini banyak dikonsumsi di dalam negeri. Kita bisa dengan mudah melihat gunungan tuna neritik yang dijual di bakul-bakul pasar di Indonesia.

Masa depan pengelolaan tuna neritik

Meski tuna neritik banyak dikonsumsi di Indonesia, informasi terkait stoknya di laut masih belum diketahui. Kurangnya informasi dan data ini menjadi suatu masalah yang dihadapi Indonesia, serta banyak negara anggota IOTC lainnya.

Kini, para ahli berupaya untuk memperhatikan stok tuna neritik dan pengelolaannya. Salah satu solusi yang ditawarkan saat ini adalah menggenjot upaya pengumpulan data, termasuk data tangkap (catch), data usaha (effort), dan data biologis ikan. Setelah itu, data akan diolah untuk mengetahui kondisi tuna neritik di laut.

MDPI akan terus berupaya mendata tuna neritik di Karangasem dalam beberapa tahun ke depan. Data yang kami kumpulkan termasuk sampling data di tempat pendaratan (port sampling), identifikasi kapal, dan penerapan kerangka survey neritik tuna.

Semua aktivitas tersebut akan berlanjut dengan bekerja bersama Badan Riset dan Inovasi National (BRIN), KKP, Yayasan Konservasi Nusantara (YKAN), dan Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Handline Indonesia (AP2HI). Kami akan menggunakan kerangka survey yang disepakati untuk mendata hal-hal yang diperlukan untuk menganalisis tuna neritik di Indonesia, sehingga ke depannya pengelolaannya dapat dilakukan lebih baik dari sekarang.

 

Referensi:

[1] Sadiyah, L (2023, April 06). Indonesia’s neritic tuna fisheries: The importance and issues [PowerPoint slides]. National Research and Innovation Agency (BRIN).

[2] IOTC-WPNT13-13 2023. Report of the 13th Session of the IOTC Working Party on Neritic Tunas. Seychelles, 3-7 July 2023. IOTC-2023-WPNT13-R[E]: 63 pp.