Nelayan Maluku Utara: Bertarung di Laut, Tersandung di Darat

oleh Putra Satria Timur, Marwan Adam

Ternate, Maluku Utara – Di tengah terik mentari dan gelombang laut yang tak ramah, nelayan Maluku Utara tak hanya bertarung dengan alam, di darat, mereka harus berjibaku dengan sistem distribusi bahan bakar yang semrawut, dan prosedur ekspor ikan yang kian pelik.

Keluhan itu menggema dalam pertemuan Komite Pengelola Bersama Perikanan Tuna (KPBP) ke-XIII di Balai Pertemuan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Ternate, 29 April 2025. Dalam forum itu, suara-suara nelayan mengerucut pada dua masalah utama: BBM bersubsidi yang sulit diakses dan sertifikasi ekspor hasil tangkapan yang belum ramah bagi nelayan skala kecil.

Nelayan, tuna, Maluku Utara, Halmera Selatan, Jikotamo
Senyum sumringah nelayan tuna di Desa Jikotamo, Kabupaten Halmera Selatan, Maluku Utara.

BBM: Kuota Tak Tersalur, Prosedur Berliku

Bagi nelayan, bahan bakar adalah urat nadi. Tanpa solar atau Pertalite, kapal tak bisa melaut, dan jaring tetap tergulung. Namun realitasnya, dari kuota BBM bersubsidi untuk perikanan sebesar 2,2 juta kiloliter dalam tiga tahun terakhir, hanya sepertiga yang benar-benar diterima oleh nelayan.

“Sudah membawa rekomendasi dari dinas, tapi masih diminta membeli Pertamax sebanyak 50% dari yang saya butuhkan,” keluh La Yamin, nelayan asal Sanana. Padahal harga Pertamax jauh lebih mahal, dan kebutuhan utama mereka hanyalah Pertalite.

Hal serupa dialami Gafur Kaboli, pengelola Koperasi BBM  Bubula Ma Cahaya di Jambula. Ia mengaku mendapat kuota 13 ton per bulan, namun pengiriman kerap hanya datang satu-dua kali. “Padahal kebutuhan kami empat kali lipat dari itu,” ujarnya.

Baca juga: Menyoroti Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur: MDPI Bawa Suara Nelayan Skala Kecil Menggema di Makassar

Di Kampung Maksar Timur, Ternate, Abdullah Usman mengeluhkan hal serupa. Sementara di Halmahera Selatan, Lasipu, nelayan dari Jikotamo, bahkan menyebut desanya nyaris tak pernah mendapat distribusi BBM bersubsidi. Sosialisasi pun nyaris tak pernah dilakukan.

Nelayan tuna mengangkat hasil tangkapan.
Nelayan di Sanana, Kabupaten Sula, Maluku Utara menunjukkan hasil tangkapannya

Birokrasi Panjang dan Minim Solusi

Masalah tak berhenti di distribusi. Penambahan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Nelayan (SPBUN) terkendala prosedur Pertamina yang dinilai terlalu rumit. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku Utara mengusulkan agar jalur distribusi alternatif seperti Agen Premium dan Minyak Solar (APMS) diberi kemudahan izin. “Tanpa terobosan, nelayan akan terus tercekik,” katanya.

Koordinator BPH Migas, Anwar Rofiq, mengakui perlunya kerja sama lintas institusi—mulai dari pemerintah daerah, Pertamina, hingga para nelayan. Tapi belum ada kepastian soal tindak lanjut konkretnya.

Sertifikasi: Nelayan Kecil Kian Terkucil

Tak hanya soal BBM, nelayan juga dibuat pusing oleh kebijakan Sertifikasi Hasil Tangkapan Ikan (SHTI), syarat utama agar produk perikanan bisa menembus pasar ekspor. Sedangkan SHTI Lembar Turunan yang Disederhanakan (SHTI-LTS), adalah versi sederhana yang dirancang untuk memudahkan nelayan skala kecil. Namun kenyataannya, akses terhadap sistem ini masih jauh dari sederhana.

Wilson dari PT Harta Samudra menyebutkan bahwa penerbitan SHTI berjalan lancar di Morotai. Namun nelayan skala kecil di wilayah non-pelabuhan, yang berada di pulau-pulau kecil, tetap mengalami kesulitan; karena infrastruktur tak memadai, jaringan internet lemah, dan pemahaman soal prosedur yang minim.

Kamarudin, Kepala PPN Ternate, menegaskan pentingnya SHTI sebagai dokumen penentu legalitas dan ketertelusuran tangkapan. “Tanpa itu, ikan-ikan kita bisa dianggap ilegal di mata dunia,” katanya.

bodi nelayan tuna di Maluku Utara
Bodi nelayan tuna di Sanana, Maluku Utara setelah pulang dari melaut.

Rekomendasi Menggantung

Beberapa rekomendasi dari pertemuan ini yaitu: sosialisasi dan pendampingan prosedur rekomendasi BBM, sistem pelaporan penyalahgunaan, hingga evaluasi tahunan distribusi BBM bersubsidi.

Di sisi sertifikasi, dibahas perlunya penguatan data logbook, legalitas kapal, dan panduan teknis yang lebih mudah bagi nelayan skala kecil. Uji coba implementasi SHTI untuk nelayan non-pelabuhan juga dianggap penting.

Baca juga: Perluas Dampak Literasi Keuangan Nelayan, MDPI Latih 13 Organisasi Masyarakat Sipil

Tapi seperti biasa, rekomendasi kerap berakhir di meja pertemuan, sementara nelayan skala kecil tetap melaut, dengan harapan yang semakin menipis di tengah biaya tinggi dan aturan yang tak berpihak.

Suara yang Harus Didengar

Suara nelayan skala kecil dari Maluku Utara telah menggema. Tapi gema tak cukup untuk menggerakkan kapal, apalagi memperbaiki sistem yang berlaku. Diperlukan kemauan politik dan keberpihakan nyata agar laut yang mereka cintai tetap lestari.

Nelayan tuna di Pangakalan 40, Kota Ternate, Maluku Utara mengangkat hasil tangkapannya
Nelayan tuna di Pangakalan 40, Kota Ternate, Maluku Utara mengangkat hasil tangkapannya.