Mama-mama Desa Jambula Buktikan Perempuan Berdampak di Sektor Perikanan

oleh M.A. Indira Prameswari, Sri Sumiati Jalil

Apa yang kamu bayangkan ketika mendengar kata ‘nelayan’? Apakah di benakmu langsung muncul sesosok lak-laki? Jika benar, itu wajar karena kita lebih sering melihat nelayan laki-laki ketimbang perempuan.

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2021 menunjukkan populasi perempuan hanya 10% di sektor perikanan Indonesia. Kondisi ini terlihat di Desa Jambula, Maluku Utara yang mayoritas nelayannya adalah laki-laki. Sebagai contoh, suami biasa mengambil tugas melaut, sedangkan perempuan mengambil tugas persiapan bekal dan mengisi logbook jika perluPraktik ini sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun.

“Mama juga yang isi logbook kalau suami kelelahan,” ujar Endang, salah seorang mama di Jambula saat ditanya mengapa ia ingin mengurus logbook yang wajib diisi nelayan. ‘Mama’ adalah sebutan bagi ibu-ibu istri nelayan di Maluku Utara, sedangkan logbook adalah buku harian nelayan untuk memantau hasil dan area tangkapan.

Meskipun hidup sebagai minoritas dengan ruang gender terbatas, para mama membuktikan bahwa mereka mampu berdampak bagi ekonomi masyarakat pesisir. Endang adalah salah satu mama anggota Koperasi Bubula Ma Cahaya dampingan Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI). Ia dan mama-mama lainnya menggiati peran manajemen finansial dan bisnis koperasi.

Para mama di koperasi biasa mengurus operasi penjualan untuk pemasok ekspor. Contohnya Mama Aryanti yang rutin menerima dan mencatat hasil tangkapan nelayan. Mama Aryanti paham betul kualitas ikan tuna. Jika tuna lolos kualitas pemasok, Aryanti akan melabelinya dengan kode ‘M’ yang artinya ‘Masuk’. Namun jika tidak, ia akan melabelinya ‘L’ yang artinya ‘Lokal’.

Mama Aryanti mencatat produk ikan tuna yang masuk dan keluar.

“Ikan ‘L’ biasanya karena kualitas ikan sudah tidak baik, dagingnya pucat. Mungkin karena ikan sakit,” ujar Aryanti.

Terkadang, tidak semua ikan yang ditangkap dapat dijual ke pemasok. Tangkapan yang tidak diperuntukkan untuk ekspor akan mereka jual ke masyarakat setempat. Pun jika sedang tidak musim tuna, mereka menjual cakalang dan tongkol di pasar lokal. “Biar uang minyak melaut kembali,” jelas Endang.

Uang hasil penjualan ikan tidak sepenuhnya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Sebagian besar diputar kembali untuk membeli bahan-bahan persediaan melaut seperti bensin dan bekal. Mereka bercerita satu kali melaut bisa menghabiskan 50 liter, es balok, dan konsumsi yang tidak murah.

Rapat Koperasi Bubula Ma Cahaya melibatkan anggota perempuan untuk berpendapat demi kemajuan koperasi.

Kondisi tersebut jauh lebih baik ketimbang sebelum ada koperasi. Sejak terbentuknya koperasi, mereka bisa mengakses bahan bakar sebanyak itu dengan mudah. Ini karena koperasi mereka mengantongi rekomendasi pemerintah daerah. “Setelah kami bentuk koperasi, kami bisa membeli BBM di bawah harga eceran,” tutup Aryanti.

Para mama di Jambula adalah contoh perempuan berdampak di sektor perikanan. Dengan ruang gerak seadanya, mereka memilih berperan tidak hanya untuk urusan keluarga tetapi juga komunitas. Perlahan tapi pasti, mereka berusaha mengisi peran-peran kunci agar menjadi berdaya bagi diri sendiri dan komunitasnya.