oleh Reno Nanda Pratama
Sejak dahulu, laut telah dimanfaatkan masyarakat yang bermukim di pesisir sebagai sumber penghidupan. Masyarakat pesisir menggantungkan hidupnya pada laut sebagai sumber mata pencaharian, salah satu caranya adalah menangkap ikan.
Hingga 2023, ILO masih mengkategorikan nelayan sebagai salah satu pekerjaan yang paling berbahaya di dunia. Pekerjaan tersebut berkontribusi signifikan terhadap sekitar 200.000 kasus kecelakan fatal dalam pekerjaan. FAO mengestimasi kecelakaan yang berakhir pada kematian dalam pekerjaan nelayan mencapai sekitar 32.000 kasus pada tahun 2019. Pekerjaan inilah yang dilakukan oleh sekitar 1,8 juta penduduk Indonesia pada tahun 2019, dimana lebih dari 85% dari mereka bekerja sebagai nelayan perikanan skala kecil. Jumlah ini semakin menurun dari tahun ke tahun karena meningkatnya kendala dan tantangan dari berbagai faktor.
MDPI juga melihat realita kehidupan nelayan skala kecil berdasarkan pengalaman berinteraksi selama bertahun-tahun di berbagai wilayah di Indonesia. Data menunjukan bahwa jumlah nelayan tuna di wilayah kerja MDPI didominasi oleh mereka yang usianya diatas 40 tahun (perkiraan per tahun 2024), dan semakin sedikit pemuda yang ingin melanjutkan pekerjaan sebagai nelayan tuna, hal ini selaras dengan tren penurunan jumlah nelayan tuna. Fakta ini tidak lagi mengejutkan karena nelayan tuna skala kecil memang dihadapkan dengan berbagai tantangan tersendiri, antara lain kebijakan pemerintah di perikanan, dampak perubahan iklim, pasang surut perekonomian, dan kebutuhan menjaga kelestarian lingkungan.
Di wilayah dampingan MDPI pada Zona Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 713, 714, dan 715, nelayan tuna skala kecil mempunyai tantangan yang kompleks dalam praktek penangkapan ikan, tantangan ini kami kumpulkan langsung dari nelayan, analisis hasil data perikanan MDPI, dan data institusi eksternal sebagai pembanding. Sehingga tantangan terbesar nelayan tuna skala kecil tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Nelayan tuna skala kecil (kapasitas kapal dibawah lima ton) umumnya menggunakan mesin tempel berbahan bakar minyak (BBM) jenis bensin; dan membutuhkan 35-50 liter BBM untuk sehari melaut, dan butuh lebih jika lebih dari sehari beserta cadangannya.
Di kantong-kantong komunitas nelayan seperti di Kabupaten Buru, Maluku Tengah dan Kota Ternate, serta daerah-daerah di Timur Indonesia lainnya, kelangkaan BBM sering terjadi. Salah satu skema pemerintah untuk membantu nelayan adalah dengan subsidi BBM jenis Pertalite. Namun untuk mendapatkan subsidi Pertalite, nelayan harus memiliki dokumen kapal yang lengkap dan mendapatkan rekomendasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan setempat. Data menunjukkan bahwa nelayan masih sulit mengakses BBM bersubsidi, yakni sekitar 82% jumlahnya dari populasi seluruh nelayan kecil di Indonesia.
Sumarno, nelayan pancing ulur tuna dampingan MDPI di Ternate, Maluku Utara, beranggapan bahwa subsidi yang ada belum maksimal. Mulanya, ia bisa mengambil BBM bersubsidi 15 kali dalam sebulan, tetapi lama kelamaan ia hanya dapat mengambil BBM bersubsidi dalam sebulan.
Nelayan sebenarnya bisa membeli BBM secara mandiri, tetapi di daerah terpencil Timur Indonesia seperti Kabupaten Buru dan Maluku Tengah, pasokannya seringkali tidak stabil dan rawan kelangkaan. Akibatnya, nelayan kecil terpojokkan untuk membeli BBM di pengecer dengan harga lebih mahal yakni sekitar Rp 16.000 per liter atau Rp 500.000-Rp 800.000 untuk modal sehari melaut.
Nelayan skala kecil kerap kali kalah saing dengan nelayan skala industri untuk mengakses sumber daya laut. Kapal-kapal besar milik industri dilengkapi dengan teknologi penangkapan yang lebih canggih seperti teknologi pendeteksi ikan Fishfinder, memiliki rumpon sendiri, dan modal melaut yang lebih banyak dibandingkan dengan nelayan kecil.
Sumarno, nelayan tuna pancing ulur dari Ternate, mengeluhkan jumlah kapal pukat cincin industri yang semakin banyak di wilayah penangkapan sekitar Laut Maluku. Menurutnya, kapal-kapal tersebut telah ‘menguras’ ikan di laut, dengan daya tangkap yang lebih besar daripada pancing ulur yang hanya dapat menangkap satu ikan sekali pancing. Target kapal pukat cincin pun menangkap pelagis kecil yang notabene merupakan makanan tuna, serta menyebabkan tuna berenang semakin jauh dan sulit dijangkau nelayan kecil yang mesinnya tak berdaya besar untuk melaut jauh dari bibir pantai.
“Semua nelayan disini mengeluhkan keberadaan ratusan kapal pukat cincin milik industri. Kami yang cuma punya kapal kecil ini untuk dapat ikan, harus melaut semakin jauh, ongkos makin tinggi, sementara ikan belum tentu dapat, jadi sekarang pasrah saja, mau mengadu entah kemana, mau mengeluh juga tak berguna,” ujar Sumarno ketika diwawancara.
Baca juga: #BerkembangBersamaMDPI: Mendukung Kesejahteraan Nelayan dan Mewujudkan Impian Perairan
Saat ini jumlah rumpon di WPP 713, 714, dan 715 semakin banyak dan menjamur, walau sudah diatur pemerintah melalui Permen KP No. 18 Tahun 2021 yang secara spesifik mengatur sifat, kapasitas, tingkat selektivitas, jenis, ukuran, dan karakteristik perairan pemasangan rumpon. Namun pada kenyataannya, implementasi di lapangan jauh berbeda. Masih banyak pihak yang memasang rumpon bukan pada daerah yang diperuntukkan. Rumpon-rumpon tak beraturan ini mengganggu jalur pelayaran dan kabel laut, mengancam wilayah konservasi, dan berpotensi memicu konflik horizontal antar nelayan.
Kendati membantu nelayan dalam mencari ikan, rumpon dapat merugikan jika pemanfaatannya tak beraturan. Mengutip Prayitno dalam jurnal “Manfaat dan Dampak Penggunaan Rumpon Sebagai Alat Bantu Penangkapan Ikan”, salah satu dampak negatif rumpon adalah potensi mengurangi kelimpahan. Pemanfaatan rumpon yang tak teratur dapat memicu penangkapan ikan berlebih (overfishing) dan mengubah ruaya alami ikan.
Di Kota Sanana, Maluku Utara, seorang nelayan tuna skala kecil bernama Uno Udo sempat bercerita bahwa mendapatkan empat ekor tuna besar di tahun 2015 itu biasa. Namun kini, mendapatkan empat tuna dalam sekali memancing menjadi hal yang luar biasa.
Penurunan jumlah tangkapan tuna juga diaminkan oleh kutipan dari Ketua Tim Kerja Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Fegi Nurhabni. Menurutnya, penurunan tangkapan ikan tak hanya disebabkan oleh penangkapan ikan berlebih, tetapi juga berkaitan dengan dampak perubahan iklim.
Tantangan terakhir adalah penegakan dan sosialisasi regulasi. Pemerintah Indonesia melalui KKP telah menerbitkan beberapa aturan yang mengatur laut dan instrumen lainnya. Melalui peraturan perikanan terbaru yakni PP No. 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT), Pemerintah mengatur kuota penangkapan ikan, alat tangkap, zona penangkapan, izin berusaha perikanan dan lainnya. Peraturan ini diharapkan dapat mengatasi masalah penangkapan ikan berlebih, regenerasi stok tuna di laut, dan konflik horizontal antara nelayan skala kecil dan industri.
Sayangnya, sosialisasi regulasi ini kepada nelayan skala kecil belum maksimal. Uno Udo mengaku PIT yang dipahaminya masih sebatas kuota perikanan yang dibagi antara nelayan besar dan kecil tanpa mengetahui manfaatnya. Hal itu pun diketahuinya bukan dari sosialisasi, tetapi dari kabar tanpa sumber yang bisa diverifikasi.
Baca juga: Masa Depan Ikan Kita: Data Perikanan untuk Ketahanan Pangan
Kebijakan perizinan penangkapan ikan dengan sistem kuota dianggapnya rumit dan memberatkan nelayan kecil, khususnya soal pemenuhan syarat administratif. Misalnya, untuk mendapatkan Pas Kecil, nelayan harus menyiapkan lima dokumen persyaratan, termasuk Surat Permohonan Pengukuran dan Penerbitan Pas Kecil, Surat Keterangan Tukang, dan lain sebagainya. Mayoritas nelayan kecil sulit memenuhi persyaratan tersebut karena keterbatasan kapasitas dalam mengadvokasi kebutuhannya, serta ilmu pengetahuan–seperti tingkat literasi rendah–dalam urusan surat-menyurat.
Itulah lima tantangan yang dihadapi nelayan kecil saat ini, khususnya nelayan tuna skala kecil. Mari dukung nelayan kecil dengan bersuara, membantu advokasi kebutuhan mereka di ruang publik, dan mendukung konstruksi kebijakan yang adil. Happy People, Many Fish!
Buku ini disusun untuk mempermudah identifikasi spesies hewan ERS dan ETP yang
berinteraksi dengan nelayan selama aktivitas penangkapan tuna berlangsung. Semua
sumber ilustrasi gambar dan informasi pada buku ini telah dicantumkan pada daftar
referensi.
Kisah dari kampung nelayan kecil di 5 provinsi (NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara) diceritakan oleh masyarakat dampingan dan para pendamping MDPI. Mimpi besar untuk menjangkau lebih luas masyarakat pesisir dengan berupaya pada peningkatan kesejahteraan nelayan kecil melalui pengembangan kapasitas, membangun kemandirian, dan ketahanan ekonomi serta memperkuat institusi lokal demi mendukung perikanan berkelanjutan. Banyak pengalaman inspiratif, cerita sukses, kendala, kritikan, rasa bangga dan haru bercampur aduk dikisahkan dalam buku ini.
Penulis:
Gede Sughiarta, Nilam Ratna, Arroyan Suwarno, Alief Dharmawan,
Adjie Dharmasatya, Hairul Hadi, Muhammad Taeran, Muh. Alwi, Sahril,
Siti Zuleha, Sri Jalil, Hizran Sampalu, Karel Yerusa, Novita Ayu Wulandari,
M. Subhan Moerid.
Penyunting:
Gede Sughiarta, Arroyan Suwarno, Nilam Ratna, Alief Dharmawan
Desain/Layout:
Gede Sughiarta
Foto:
Yayasan MDPI, Gede Sughiarta
Illustrasi:
Panca Kumara