Laut yang Semakin Sepi: Ironi di Balik Kemandirian Nelayan Waelihang

oleh Putra Satria Timur, Asis Buton, Halid Sanahuyo, dan Rajab Tasane

Sore itu, langit menumpahkan hujan deras di pesisir Tanjung Karang. Air mengalir ke arah pantai, bercampur dengan debur ombak yang terus mengikis pasir. Anak-anak berlarian dan berenang tanpa peduli dingin. Tawa mereka menjadi satu-satunya suara hidup di bawah langit yang kelabu — seolah menolak kenyataan bahwa laut di depan mereka kini semakin sepi.

———–

Dari kejauhan, sebuah perahu kecil merapat ke pantai. Seorang perempuan berjaket hujan bergegas keluar dari gubuk sederhana, menata balok kayu sepanjang dua meter—langgi, sebutan mereka—agar perahu suaminya bisa mendarat. Di atas perahu hanya ada dua kotak berisi es dan beberapa ikan kecil.

“Cukup untuk makan hari ini dan ganti bensin,” ujar sang nelayan, tersenyum lelah namun ramah. Istrinya menyambut dengan tangan dingin dan hati hangat. Di bawah hujan yang deras, mereka mendorong perahu bersama—pemandangan yang lebih tampak seperti keteguhan daripada rutinitas.

Gubuk nelayan desa Waelihang
Gubuk sederhana nelayan dari desa Waelihang yang tinggal di Desa Tanjung Karang

Tak lama, perahu lain datang. Ceritanya sama: hasil tangkapan sedikit, dan senyum tetap dipaksakan. Pulang tanpa ikan besar sudah jadi hal biasa. Mereka nelayan dari Desa Waelihang, yang dulu terkenal dengan tangkapan tuna. Dulu, mereka bisa membaca arah lumba-lumba untuk menemukan kawanan ikan. Kini, laut seolah kehilangan tanda-tandanya.

“Jangankan tuna besar, tuna kecil pun sulit ditemukan,” ujar Rustam Tuharea, nelayan dari Waprea.

“Bibit ikan sudah ikut tertangkap. Tidak ada tempat bagi ikan kecil untuk tumbuh.” tambahnya.

Ia menunjuk penyebabnya: rumpon—alat bantu tangkap ikan—yang kini menjamur tanpa kendali. Banyak diantaranya ilegal, dan setiap hari disapu bersih oleh kapal purse seine skala besar. Nelayan kecil hanya jadi penonton, bahkan diusir jika mencoba mendekat.

 

Meninggalkan Kampung, Membangun Harapan

Kondisi itulah yang memaksa beberapa nelayan Waelihang hijrah ke Tanjung Karang. Di tanah baru ini, mereka membangun pemukiman darurat dari papan dan daun kelapa, dengan penerangan seadanya dari panel surya. Listrik tak ada, tapi harapan masih menyala.

Agar anak-anak tetap sekolah, mereka harus berpisah. Anak-anak tinggal di Waelihang bersama kakek dan nenek, yang tiap akhir pekan menumpang mobil bak terbuka pengangkut ikan untuk berkunjung. Ketika mereka tiba, tawa anak-anak kembali memecah sepi perkemahan, menutup sejenak rasa kehilangan yang mereka bawa.

Senyum seorang istri nelayan
Senyum ikhlas yang terpancar dari seorang istri nelayan menyambut kedatangan suaminya dan mendorong perahu ke darat.

Belajar Mandiri, Membangun Koperasi

Di tengah kesulitan, para nelayan ini bergabung dalam kelompok binaan Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI). Mereka membentuk kelompok nelayan Fair Trade, dan dari sanalah tumbuh kesadaran baru: bahwa kebersamaan bisa lebih kuat dari keputusasaan.

Mereka kemudian mendirikan Koperasi Indah Latamiha Bersatu. Modal awalnya kecil—hasil patungan, sedikit keuntungan dari hasil tangkapan, dan semangat bertahan hidup. Keuntungan koperasi dipakai untuk menyewa lahan tempat tinggal, membeli peralatan melaut, hingga membangun miniplant kecil untuk menjaga mutu ikan.

Langkah awal tidak mulus. Pernah, seluruh logistik mereka rusak dimakan semut dan rayap saat mereka pulang kampung untuk Lebaran. Tapi mereka tak menyerah. Perlahan, mereka beralih dari penjual alat tangkap menjadi pengumpul ikan—posisi yang dulu hanya diisi oleh pemasok besar.

“Dulu harga ikan selalu ditentukan pemasok. Kami tak pernah tahu kapan hutang lunas,” kata Ismail Liem, pengurus koperasi.

“Sekarang, harga ditentukan kelompok. Nelayanlah yang pegang kendali.” imbuhnya.

Kini, bukan hanya anggota koperasi yang menjual ikan ke mereka, tetapi juga nelayan luar kelompok. Prinsipnya sederhana: keuntungan kecil tak masalah, asalkan konsisten dan adil bagi semua.

Baca juga: Terjerat Janji Palsu Bantuan: Saatnya Nelayan Bangkit dan Mandiri

 

Dari Pemburu Telur Penyu ke Pelindung Laut

Seiring kemandirian ekonomi tumbuh, kesadaran lingkungan pun ikut muncul. Mereka mulai mencatat hasil tangkapan dalam logbook, mendaftarkan kapal secara legal, dan memberikan insentif bagi anggota yang disiplin.

Yang dulu memburu telur penyu, kini justru menjadi penjaga pantai. Mereka saling mengingatkan pentingnya menjaga spesies seperti penyu, lumba-lumba, dan hiu—bukan karena takut hukum, tapi karena mulai paham: laut tak akan memberi jika terus diperas tanpa henti.

Kesadaran itu bahkan menjalar ke hal yang lebih praktis. Mereka menyisihkan sebagian keuntungan untuk membayar BPJS Ketenagakerjaan—perlindungan jika terjadi kecelakaan atau kematian di laut. Langkah kecil, tapi berarti besar dalam hidup yang selalu bertaruh dengan ombak.

Kerja sama suami istri nelayan
Kerja sama suami istri nelayan dengan penuh perjuangan mencari nafkah di tengah ketidakpastian hasil tangkapan.

Baca juga: MDPI Galang Dana Lewat Cerita Nelayan Kecil dalam Acara “The Untold Story: Tuna Fishers in Maluku & Bali”

 

Laut yang Sakit dan Harapan yang Bertahan

Suatu sore, seorang nelayan muncul membawa seekor tuna besar, sekitar 40 kilogram. Ikan itu dijual ke koperasi, disambut dengan sorak kecil dan tawa lega. Sejenak, harapan terasa nyata: bahwa laut belum sepenuhnya hilang.

Namun kegembiraan itu cepat tenggelam oleh kenyataan. Ikan makin sedikit, ukuran makin kecil, dan rumpon terus bertambah.

Rustam kembali bersuara pelan, nyaris seperti doa.

“Bayangkan kalau ikan melimpah seperti dulu. Dengan kemampuan kami sekarang, pasti bisa lebih sejahtera, lebih sadar menjaga laut,” katanya.

“Rumpon memang penting, tapi kalau terlalu banyak, laut akan habis. Lautan sedang sakit.” lanjutnya.

Ia menatap ke cakrawala yang buram, lalu menambahkan dengan nada lirih,

“Kami butuh bukan hanya bantuan di darat, tapi juga ‘obat’ di laut — regulasi yang berpihak pada nelayan kecil. Kalau itu terjadi, mungkin suatu hari laut ini tak lagi sepi.” tutup Rustam.