Terjerat Janji Palsu Bantuan: Saatnya Nelayan Bangkit dan Mandiri

oleh Putra Satria Timur, Muhammad Subhan Murid, Amrollah

Bagi nelayan di Talawaan Bajo, Sulawesi Utara, laut tidak hanya menyimpan harapan — tapi sekaligus kegetiran. Bukan oleh ombak atau badai, tapi oleh janji-janji palsu yang membawa nama “bantuan pemerintah”.

——–

Malam itu, laut Talawaan Bajo di Sulawesi Utara tampak tenang. Ombak berayun pelan di bawah cahaya bulan, menyentuh deretan perahu fiber berukuran kecil — tujuh sampai sembilan meter panjangnya. Dari desa inilah, para nelayan pemburu tuna sirip kuning berangkat setiap pagi, menembus lautan hingga Morotai di Maluku Utara. Mereka melaut bermodalkan keberanian dan keyakinan, bahwa laut yang keras tetap bisa memberi hidup.

Namun, di balik ketangguhan itu, tersimpan kisah getir tentang janji-janji palsu yang datang dalam rupa “bantuan pemerintah”. Tentang harapan yang tak pernah benar-benar ada.

Janji Bantuan yang Berujung Tipu Daya

Musriza Paputungan, sekretaris desa Talawaan Bajo, masih mengingat jelas bagaimana semuanya bermula. Beberapa orang asing datang membawa kabar menggembirakan: akan ada bantuan mesin tempel dari pemerintah pusat untuk nelayan. Mereka tampil meyakinkan — berbicara dengan percaya diri, menunjukkan foto-foto penyerahan bantuan palsu, dan menyebut nama pejabat seolah mereka bagian dari jaringan resmi.

Para nelayan diminta membentuk kelompok, mengisi sejumlah formulir, dan menyerahkan biaya “operasional” sebesar Rp100.000 hingga Rp250.000 per orang. Jumlahnya tampak kecil, tapi bagi nelayan skala kecil, uang itu berarti bahan bakar untuk berhari-hari melaut.

Culasnya, nelayan diminta merahasiakan hal ini dari pemerintah desa — dengan alasan agar “proses cepat dan tidak ribet”. Dalam hitungan minggu, uang pun lenyap. Mesin yang dijanjikan tak pernah datang.

Sebanyak tiga puluh nelayan menjadi korban, total kerugian sekitar Rp. 8 juta. Banyak yang akhirnya harus berhutang pada tetangga atau menjual perlengkapan melaut mereka.

“Yang bikin sakit hati bukan cuma uangnya hilang,” kata Musriza. “Tapi kepercayaan orang kampung juga ikut hilang. Sekarang, kalau ada pihak luar datang bawa program, mereka langsung curiga.”

Luka Kolektif di Kalangan Nelayan Kecil

Nelayan Desa Talawaan Bajo, Sulawesi Utara, saat menceritakan perkara kejadian kepada staf MDPI (kiri).

Cerita Desa Talawaan Bajo bukan satu-satunya. Pola semacam ini berulang di banyak pesisir Indonesia.

Lebih dari 90 persen nelayan di negeri ini adalah nelayan skala kecil — bekerja dengan modal minim, jauh dari akses informasi, dan sering kali bergantung pada kabar dari mulut ke mulut. Kondisi itu membuat mereka mudah percaya pada siapa pun yang datang membawa janji “bantuan”.

Masalahnya bukan hanya soal bantuan yang palsu, tapi soal sistem yang membiarkan nelayan terus berada di posisi paling rentan. Minim literasi keuangan, minim akses digital, dan minim pendampingan yang benar-benar berpihak.

Ketika orang datang dengan janji cepat dan instan, siapa yang bisa menyalahkan mereka karena berharap?

Mengubah Arah: Dari Penerima Bantuan ke Penggerak Kemandirian

Nelayan tradisional dengan tuna tangkapannya di Desa Talawaan Bajo, Sulawesi Utara.

Kalau ingin tidak terjebak penipuan, pendekatannya harus diubah. Nelayan diajari cara membangun dan memperlengkapi diri, bukan lagi tentang cara meminta.

Langkah paling nyata adalah memperkuat kelompok nelayan—bukan sebagai formalitas untuk mendapatkan bantuan, tapi sebagai ruang kolektif untuk membangun kekuatan ekonomi.

Dengan berkelompok, nelayan bisa membeli alat tangkap bersama, membentuk unit pengolahan ikan, atau bahkan membuka gerai logistik sendiri. Beberapa kelompok di daerah lain sudah mulai melakukannya: mengolah hasil tangkapan menjadi bakso, abon, atau kerupuk kulit ikan. Nilai jualnya naik, dan lapangan kerja baru terbuka.

Model semacam ini bukan sekadar soal ekonomi. Ini tentang mengembalikan kendali ke tangan nelayan. Tentang rasa percaya bahwa mereka bisa menentukan arah hidupnya sendiri tanpa harus menunggu janji dari luar.

Bantuan fisik, kalaupun ada, seharusnya hanya menjadi pengakuan atas kerja keras dan solidaritas yang sudah terbangun—bukan menjadi candu ketergantungan.

Ketika Regulasi Harus Turun ke Laut

Namun kemandirian tak bisa tumbuh di ruang hampa. Dibutuhkan kebijakan yang berpihak dan berpijak di realitas nelayan skala kecil.

Di tengah krisis iklim dan eksploitasi laut oleh kapal industri besar, nelayan tradisional butuh perlindungan nyata: penyederhanaan izin melaut, jaminan zona tangkap tradisional, dan akses BBM bersubsidi yang benar-benar sampai ke tangan mereka.

Kebijakan tak bisa lagi disusun dari balik meja, nelayan harus diajak bicara dan diskusi dalam prosesnya. Forum-forum seperti Komite Pengelola Bersama Perikanan (KPBP) bisa jadi ruang penting bagi mereka untuk terlibat langsung dalam pengambilan keputusan.

Sebab tanpa suara nelayan di dalam kebijakan, regulasi akan selalu terasa jauh—bahkan ketika dibuat atas nama mereka.

Nelayan skala kecil mungkin terlihat rapuh di permukaan. Tapi di tangan merekalah roda ekonomi pesisir berputar. Mereka bukan sekadar “penerima bantuan”, melainkan penjaga sumber protein bangsa dan garis depan pertahanan pangan laut Indonesia.

Sudah saatnya paradigma berubah: nelayan tidak butuh belas kasihan. Mereka butuh pengetahuan, keadilan, dan ruang untuk mandiri.

Seperti kata pepatah tua, “Kemandirian adalah jangkar sejati yang menahan kapal dari badai.”

Dan bagi para nelayan Indonesia, jangkar itu bukan terbuat dari besi, melainkan dari kesadaran kolektif — bahwa laut tidak hanya tempat mencari ikan, tapi tempat menegakkan martabat.