Menjaga Laut, Menjamin Pangan: Pesan di Hari Pangan Sedunia

oleh Maman

Setiap tanggal 16 Oktober, dunia memperingati Hari Pangan, momentum tahunan yang ditetapkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) sejak 1979. Peringatan ini mengingatkan kita pada satu hal mendasar: hak setiap orang untuk mendapatkan pangan yang sehat, bergizi, dan cukup. Klik teks interaktif untuk dialihkan kepada pranala sumber data.

——–

Kebutuhan pangan dunia yang terus meningkat

Tahun ini, dengan tema Hand in Hand for Better Food and a Better Future”, FAO menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk membangun sistem pangan yang lebih adil dan berkelanjutan—terutama di tengah perubahan sosial, ekonomi, dan iklim global yang kian menekan.

Populasi dunia kini telah menembus 8,2 miliar jiwa dan diperkirakan mencapai 9,7 milyar pada tahun 2050. Pertanyaannya sederhana tapi genting: bagaimana dunia memberi makan milyaran manusia di tengah keterbatasan sumber daya alam dan krisis iklim yang nyata?

Jawabannya tak bisa hanya bertumpu pada pertanian. Laut dan sektor perikanan memiliki peran yang sama pentingnya dalam memastikan ketahanan pangan global.

Tuna adalah salah satu komoditas boga bahari yang paling diminati oleh pasar dunia. Produksi tuna oleh Indonesia diperkirakan berkontribusi atas 19% konsumsi tuna global.

Kontribusi perikanan terhadap ketahanan pangan

Dengan 71 persen permukaan bumi berupa lautan, potensi pangan dari sektor perikanan sangat besar. Walau nilai ekonominya pada 2022 “baru” mencapai sekitar 200 miliar dolar AS—jauh di bawah sektor pertanian yang menyentuh 2,8 triliun dolar AS—tren konsumsi ikan menunjukkan arah yang terus naik.

FAO mencatat konsumsi ikan global meningkat 122% antara 1990–2018, dengan rata-rata pertumbuhan 3% per tahun. Tidak ada tanda perlambatan. Artinya, ikan dan produk perikanan kini menjadi bagian penting dari pola konsumsi global yang lebih sadar gizi dan semakin menuntut keberlanjutan di sepanjang rantai pasoknya.

Tuna Indonesia dan peran besar nelayan skala kecil

Seorang nelayan tersertifikasi Fair Trade USA dari Maluku, Indonesia.

Indonesia adalah salah satu produsen tuna terbesar di dunia, dengan kontribusi sekitar 19% terhadap pasokan global. Nilai ekspor tuna Indonesia pada 2023 mencapai lebih dari 920 juta dolar AS, dengan pasar utama Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa.

Nilai ekonomi global komoditas tuna sendiri mencapai 43 miliar dolar AS, dan permintaan—terutama untuk produk tuna kaleng—diperkirakan meningkat hingga 34% pada 2050.

Di dalam negeri, tren konsumsi ikan juga terus meningkat. Data World Population Review menunjukkan bahwa pada tahun 2022, masyarakat Indonesia mengonsumsi rata-rata 41,3 kg ikan per kapita per tahun, dan menurut KKP, sekitar 1,5 juta ton ikan tuna, cakalang, dan tongkol dikonsumsi masyarakat pada tahun 2023. Fakta ini mempertegas bahwa perikanan memiliki peran ganda: sebagai penopang ekspor sekaligus penyedia pangan bergizi bagi masyarakat Indonesia sendiri.

Namun, kontribusi besar itu bukan datang dari industri raksasa semata. Di baliknya, terdapat ribuan nelayan skala kecil dan menengah—kapal 5–10 GT dengan alat tangkap ramah lingkungan seperti handline—yang menjadi tulang punggung rantai pasok tuna Indonesia.

Di banyak daerah seperti Maluku, Nusa Tenggara, dan Sulawesi, nelayan skala kecil bukan hanya penyedia pangan global, tetapi juga penjaga keseimbangan ekosistem laut. Data Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) menunjukkan bahwa di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 713, 714, dan 715, hampir tidak ada tangkapan spesies Endangered, Threatened, Protected (ETP) selama lima tahun terakhir. Praktik mereka selektif, minim bycatch, dan terbukti menjaga keberlanjutan stok ikan.

Tantangan yang kian berat bagi nelayan kecil

Meski berperan besar, nelayan skala kecil adalah kelompok paling rentan terhadap perubahan iklim dan fluktuasi ekonomi global.

Perubahan pola migrasi ikan tuna membuat nelayan harus melaut lebih jauh dan lebih lama, dengan biaya bahan bakar yang terus naik. Ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil, sementara cuaca ekstrem yang makin sering terjadi mengurangi hari melaut dan pendapatan.

Tekanan ini kerap memaksa keluarga nelayan berutang demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Di sisi lain, kebijakan perdagangan internasional juga mempengaruhi kesejahteraan mereka. Penerapan tarif ekspor baru oleh Amerika Serikat, misalnya, berdampak langsung pada industri pengolahan tuna Indonesia. Salah satu riset menunjukkan bahwa di Bitung, Sulawesi Utara, kebijakan tersebut menyebabkan pengurangan tenaga kerja hingga 60–80% pada perusahaan pengolah tuna loin. Dampaknya menjalar hingga ke nelayan kecil—harga ikan di tingkat lapangan turun 5–25% per kilogram.

Di wilayah dampingan MDPI seperti Maluku dan Maluku Utara, nelayan yang sudah memenuhi standar Fair Trade USA pun tidak memiliki posisi tawar yang cukup untuk menegosiasikan harga. Bagi mereka, perubahan global berarti kehilangan penghasilan, meski praktik mereka telah memenuhi prinsip keberlanjutan.

foto bersama, KPBP Sulut, PIT
Komite Pengelola Bersama Perikanan Sulawesi Utara; salah satu komunitas co-management dampingan MDPI.

MDPI adalah salah satu organisasi nirlaba yang berfokus pada penguatan perikanan skala kecil. Upayanya berakar pada tiga pendekatan utama berikut:

Pertama, pengelolaan perikanan berkeadilan dan berkelanjutan – memperkuat pengumpulan data berbasis masyarakat, mendorong praktik co-management melalui Komite Pengelola Bersama Perikanan, serta mengadvokasi pengelolaan rumpon yang transparan dan kolaboratif.

Kedua, peningkatan kapasitas sosial dan ekonomi nelayan – melalui pengembangan social enterprise, penguatan keuangan kelompok dan rumah tangga nelayan, serta pemberdayaan perempuan dan pemuda pesisir.

Ketiga, kolaborasi lintas sektor – dengan pelaku industri, lembaga sertifikasi seperti Fair Trade USA dan MSC, KKP, Tuna Consortium Indonesia, hingga para donor internasional.

Hingga 2025, MDPI telah mendampingi lebih dari 1.400 nelayan tuna skala kecil di wilayah timur Indonesia—kawasan yang termasuk dalam zona Segitiga Terumbu Karang, pusat keanekaragaman hayati laut dunia. Melalui pendampingan ini, MDPI berupaya memastikan bahwa keberlanjutan laut berjalan seiring dengan kesejahteraan nelayan dan ketahanan pangan dunia.

Membangun masa depan pangan yang tangguh

Hari Pangan Sedunia tahun ini mengingatkan kita: ketahanan pangan tidak mungkin tercapai tanpa keadilan bagi produsen kecil.

Nelayan skala kecil adalah penjaga pertama laut dan penyedia utama pangan laut dunia. Namun mereka juga kelompok pertama yang merasakan dampak krisis iklim dan ketidakadilan pasar global.

Masa depan pangan yang adil dan berkelanjutan hanya dapat tercapai jika semua pihak—pemerintah, industri, masyarakat pesisir, dan konsumen—bekerja “hand in hand”, seperti tema FAO tahun ini.

Melalui kerja sama dan kepedulian bersama antara pemerintah, sektor industri, masyarakat pesisir, dan konsumen, MDPI mengajak semua pihak untuk terus berkontribusi bersama kita dapat membangun sistem pangan dan pengelolaan laut yang adil, berkelanjutan, dan tangguh.