Foto bersama

MDPI dan Penguatan Social Responsibility Assessment dalam Perikanan

oleh A. Riza Baroqi

Tulisan ini adalah sepenggal cerita pengalaman A. Riza Baroqi, Governance Officer MDPI, yang mengikuti pelatihan Social Responsibility Assessment (SRA-Penilaian Tanggung Jawab Sosial) sektor perikanan untuk asesor dan implementor di Los Angeles, Amerika Serikat pada Februari 2025 lalu. Penilaian ini dikhususkan untuk aspek sosial dalam implementasi Fishery Improvement Project (FIP).

Sejak awal saya merasa beruntung bisa duduk bersama para praktisi, penilai, dan pelaku Social Responsibility Assessment (SRA) perikanan dari berbagai negara. Forum ini bukan sekadar ruang belajar teknis, melainkan juga ruang berbagi cerita, tantangan, bahkan kegelisahan yang kami alami dalam menerapkan penilaian sosial di sektor perikanan.

Menjadi Suara dari Indonesia Terkait Social Responsibility Assessment Sektor Perikanan

Sebagai perwakilan MDPI, saya hadir membawa cerita nelayan skala kecil dari Indonesia. Rasanya unik, karena mayoritas peserta berasal dari negara-negara benua Amerika. Perbandingan realitas antar negara benar-benar terasa kontras: mulai dari sistem sosial, struktur armada, hingga budaya kerja nelayan. Justru di situlah letak nilai penting forum ini—kami bisa melihat betapa luas dan beragam wajah perikanan dunia.

Diskusi, kelompok, SRA, CoP
Suasana pelatihan Social Responsibility Assessment (SRA) Perikanan di Los Angeles, Amerika Serikat (Februari 2025)

Diskusi berjalan dengan sangat terbuka. Kami saling berbagi pengalaman bagaimana asesmen sosial diterapkan, dari perikanan skala kecil di Asia Tenggara sampai perikanan industri di Amerika Latin. Meski latar belakangnya berbeda, saya menangkap benang merah yang sama: penilaian risiko sosial tidak pernah mudah. Banyak indikator yang terasa terlalu teknis, bahkan kadang tidak sesuai dengan kenyataan lapangan.

Bagi saya pribadi, tantangan terbesar ada pada indikator kinerja SRA. Contohnya, ada indikator yang menilai kesejahteraan awak kapal. Padahal di Indonesia, terutama di skala nelayan kecil, yang ada hanya satu kapal dan satu nelayan—tidak ada “awak” dalam pengertian formal. Hal-hal seperti ini membuat saya semakin sadar bahwa alat asesmen perlu lebih adaptif dengan konteks lokal.

Baca juga: Ketika Nelayan Nekat Berkelompok, Bisa Atur THR Sampai Tembus Proyek PT PELNI

Saya juga menyadari bahwa tidak semua indikator punya tingkat kesulitan yang sama. Kadang, dalam proses asesmen justru muncul pertanggung jawaban baru yang sebelumnya tidak teridentifikasi. Temuan semacam ini penting untuk memperkaya pembaruan SRA agar lebih realistis. Di sinilah saya merasa peran MDPI cukup relevan, khususnya melalui Komite Pengelola Bersama Perikanan (KPBP) yang menjadi wadah partisipasi pemangku kepentingan di beberapa daerah. Tidak semua wilayah punya ruang seperti ini, sehingga apa yang kami bangun bisa menjadi contoh untuk konteks yang lebih luas.

Belajar dari Pemetaan Pemangku Kepentingan

Salah satu sesi yang paling berkesan bagi saya adalah brainstorming tentang pemetaan pemangku kepentingan. Diskusi ini membuka mata saya bahwa peningkatan kesejahteraan sosial nelayan tidak bisa dipisahkan dari pemahaman siapa saja yang terlibat, apa kepentingannya, dan bagaimana melibatkannya. Pemetaan yang baik bisa menjadi kunci intervensi yang tepat sasaran dan berkelanjutan.

Dari forum ini juga lahir satu kesepakatan penting yang menurut saya akan sangat berpengaruh ke depan: pembentukan Community of Practice (CoP), sebuah kelompok praktisi yang sama-sama peduli pada penerapan SRA. Bagi saya yang sehari-hari bekerja langsung di lapangan, inisiatif ini terasa begitu relevan. CoP akan menjadi ruang belajar bersama, tempat kami bisa terus berdiskusi, bertukar praktik baik, sekaligus mencari jalan keluar dari tantangan yang sering muncul di proses asesmen sosial.

Pelatihan Internasional, Social Risk Assessment (SRA) Perikanan, Diskusi
Presentasi selama pelatihan Social Responsibility Assessment (SRA) Perikanan di Los Angeles, Amerika Serikat (Februari 2025)

Ocean Outcomes ditunjuk sebagai penggagas utama, dan saya melihat keseriusan mereka dalam mendorong isu sosial di sektor perikanan. Bahkan, ke depan ada rencana untuk membentuk konsorsium SRA yang melibatkan beberapa NGO dengan kepedulian yang sama terhadap aspek sosial, termasuk MDPI, Ocean Outcomes, Conservation International (CI), FishChoice, dan lain-lain. Saya merasa optimis, jaringan ini akan menjadi fondasi yang kuat bagi kolaborasi global, sekaligus memperkuat posisi isu sosial agar tidak terpinggirkan dalam upaya perbaikan perikanan. 

Baca juga: Nelayan Maluku Utara: Bertarung di Laut, Tersandung di Darat

Pulang dengan Semangat Baru

Mengikuti forum ini membuat saya semakin yakin bahwa kolaborasi lintas negara bukan sekadar jargon, melainkan kebutuhan nyata. Saya pulang dengan banyak ide segar, semangat baru, dan keyakinan bahwa arah kita sudah tepat: menuju pengelolaan perikanan yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.

Diskusi, obrolan, Social Risk Assessment (SRA) Perikanan
Suasana diskusi dan dialog selama pelatihan Social Responsibility Assessment (SRA) Perikanan di Los Angeles, Amerika Serikat (Februari 2025)

Bagi saya pribadi, pengalaman ini bukan hanya tentang belajar metode asesmen sosial, tetapi juga tentang menyadari bahwa di balik angka, indikator, dan laporan, ada wajah-wajah nelayan yang perlu kita dengarkan dan perjuangkan. Dan itulah semangat yang ingin terus saya bawa dalam pekerjaan sehari-hari di lapangan.