Studi Banding Koperasi & Pengelolaan Usaha 2025: Menyalakan Semangat Ngayah Pada Anggota Koperasi

oleh M. A. Indira Prameswari

Sore itu, Mama Ros duduk di ujung teras rumah panggungnya, menunggu nelayan Desa Jikotamo kembali dari laut. Suara mesin kapal mulai terdengar dari kejauhan, kontras dengan sepinya desa. Itulah tanda kepulangan para nelayan yang melaut di perairan Laut Maluku, tepat di utara Pulau Obi, Maluku Utara.

Saat nelayan tiba dengan tuna madidihang seukuran pria dewasa, Rosmina, yang akrab disapa Mama Ros, segera bangkit dari duduknya untuk melakukan penjualan ikan.

“Enam puluh up!” serunya kepada pengepul. Angka itu menunjukkan satu ikan seberat 60 kilogram—hasil tangkapan yang cukup berharga. Seekor tuna seberat itu bahkan bisa ditukar dengan sebuah ponsel pintar. Ikan-ikan yang tertangkap kemudian dijajakan di sepanjang papan panggung dari dek kapal ketinting kecil untuk dibersihkan dan dibekukan di gudang.

“Bapak-bapak dong tangkap ikan, torang mama-mama siap tunggu saja di muka untuk jual ikan,” tutur Mama Ros. Dalam budaya desa nelayan tuna, pembagian kerja berdasarkan gender sangat kental. Para pria bertugas melaut, sementara perempuan mengurus keluarga dan menjual hasil tangkapan. “Kalau tara melaut, mama-mama diam di rumah,” jelasnya.

Namun, Mama Ros mengambil peran lebih besar daripada kebanyakan perempuan di desanya. Selain menjadi akuntan keluarga, ia turut mengelola keuangan Koperasi Tribakti Tuna Mandiri, yang dikelola oleh pengepul dan keluarga nelayan lokal. Karena satu desa, hampir setiap nelayan memiliki hubungan darah, termasuk para anggota koperasi yang seluruhnya adalah keluarga nelayan.

“Mengatur anggota koperasi itu sulit karena semuanya keras kepala, pang malawang (senang melawan),” ujar Mama Ros. “Egoisme sering membuat masalah koperasi tak kunjung terselesaikan,” tambahnya, dengan senyum yang mulai memudar.

Nelayan Jikotamo menjajakan tangkapannya sebelum dipindahkan ke dalam gudang.
Nelayan Jikotamo menjajakan tangkapannya sebelum dipindahkan ke dalam gudang.

Ketika Anggota Tak Acuh Pada Kemajuan Usaha

Mama Ros adalah anggota aktif Koperasi Tribakti Tuna Mandiri, yang menjalankan usaha jual-beli sembako seperti toko kelontong di desa. Omzetnya mencapai ratusan juta rupiah per tahun. Namun, meski omzet besar, tidak semua anggota aktif berkontribusi membangun usaha ini.

“Kalau soal pembagian SHU (Sisa Hasil Usaha), semua pasti datang. Tapi kalau soal yang merapikan barang, operasional, atau menghadiri rapat, tidak ada yang mau,” keluh Mama Ros.

Sehari-hari, Mama Ros mengurus koperasi bersama beberapa anggota lainnya. “Harapannya semua punya perhatian yang sama untuk memajukan usaha ini,” ujarnya.

MDPI menyadari bahwa tidak semua anggota koperasi dapat berfungsi optimal. Bukan hanya soal kurangnya kepedulian, tetapi juga minimnya kapasitas berlembaga. Pembukuan keuangan, logistik, dan pembagian tugas hanya dikuasai segelintir orang.

Sebagai upaya peningkatan kapasitas, MDPI menginisiasi kegiatan studi banding bagi perwakilan anggota koperasi untuk belajar dari koperasi yang lebih maju di Bali. Mama Ros berangkat bersama Pak La Kuku, seorang pengawas Koperasi Tribakti Tuna Mandiri, dan sepuluh peserta lain dari lima provinsi area kerja MDPI.

Pak La Kuku dan Mama Ros setibanya di Bali.
Pak La Kuku dan Mama Ros setibanya di Bali.

Ngayah: Tekad Kerja Sukarela yang Membakar Laju Usaha

Perjalanan dari Pulau Obi ke Bali memakan waktu dua hari. Mama Ros dan Pak La Kuku bertolak dari Jikotamo pada Senin, 17 Februari 2025, menuju Kota Ternate untuk singgah selama dua hari, sebelum melanjutkan perjalanan udara ke Bali untuk melaksanakan studi banding pada 21 Februari 2025.

Semangat Mama Ros dan Pak La Kuku tak surut meski harus menempuh perjalanan panjang. Mereka membandingkan toko kelontong yang dikelola Koperasi SIDI di Bali dengan toko kelontong di desa mereka. “Di sini semua pengoperasiannya sudah dengan sistem komputer. Kalau di desa, kami masih mencatat transaksi dan stok barang secara manual,” kata Mama Ros setelah berdiskusi dengan petugas Koperasi SIDI.

Koperasi SIDI, yang berdiri sejak 1951 di Kota Denpasar, telah melalui berbagai masa kejayaan dan kejatuhan. Menurut ketua Koperasi SIDI, Nyoman Mudana, koperasi ini bertahan lebih dari setengah abad berkat semangat ngayah—kerja sukarela yang menjadi landasan utama koperasi gotong royong.

“Bisnis koperasi berbeda dari bisnis pada umumnya. Pengurus tidak dibayar dalam mengelola usaha, tapi itu risiko yang diterima selama bisnisnya dapat berkembang dan pembagian hasil usaha adil bagi semua anggota,” jelas Pak Mudana.

Menyeimbangkan Tekad dan Teknis Koperasi

La Kuku (kanan) bersama peserta lainnya berbagi wawasan teknis yang dipelajari selama studi banding.
La Kuku (kanan) bersama peserta lainnya berbagi wawasan teknis yang dipelajari selama studi banding.

Selain memperkenalkan nilai kerja sukarela dan gotong royong, kegiatan ini juga mengajarkan berbagai aspek teknis dan legalitas koperasi. Peserta mempelajari pemetaan potensi pasar, inovasi usaha, keterampilan manajerial, hingga pengajuan legalitas usaha.

“Tujuan kegiatan ini adalah menyediakan wadah belajar yang lengkap, baik dari sisi teknis maupun legalitas. Mengelola bisnis kelompok itu sulit. Perlu keterampilan interpersonal untuk mengatasi konflik yang sering menjadi masalah utama, seperti di Jikotamo,” ujar FCO Lead MDPI, Nilam Ratnawati.

Mama Ros dan Pak La Kuku berniat membawa pulang pengetahuan yang mereka dapatkan untuk dibagikan kepada anggota koperasi lainnya, terutama pengawas yang sudah lama tidak aktif. “Insya Allah, kami akan bicarakan dengan nelayan di desa supaya tidak ada lagi masalah keuangan yang berantakan dan konflik antaranggota,” tutup Mama Ros dengan tekad yang kuat.