Terus Lakukan Pendataan demi Perikanan yang Berkelanjutan

WAPREA- Sore itu, Sabtu 26 Januari 2019, cuaca di sekitar pantai yang ada di Desa Waprea, Buru Utara, Maluku terasa lebih bersahabat. Angin pantai berhembus perlahan dan terasa begitu sejuk. Saya pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Saya berdiri di halaman belakang kantor MDPI yang memang langsung menghadap ke pantai.

Tampak pula anak-anak Desa Waprea yang bermain-main di sekitar pantai. Mereka berkejar-kejaran di sepanjang pantai. Sebagian dari mereka ada pula yang tampak asyik berenang dan menyelam di birunya air laut yang ada di kawasan itu. Memang, menyelam di pantai yang ada di Desa Waprea ini sungguh menyenangkan. Airnya yang masih jernih, ditambah dengan terumbu karang dan ikan-ikan yang berwarna-warni, memberikan pemandangan yang luar biasa menakjubkan.

Tidak hanya anak-anak. Sore itu, ibu-ibu istri nelayan juga terlihat menuju ke pantai sambil membawa wadah berwarna hitam. Mereka lantas duduk-duduk di bawah sebuah pohon rindang yang di kanan kirinya ada beberapa perahu kecil berukuran sembilan meter. Kegiatan seperti itu memang sudah menjadi rutinitas setiap sore para istri nelayan. Mereka setia menunggu sang suami pulang dari melaut. Tentu saja, mereka berharap sang suami bisa pulang dengan selamat dan membawa ikan tuna yang banyak dan hasilnya bisa untuk mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari.

Sejenak kemudian, datanglah Ikhsan Bessy. Pemuda 27 tahun itu datang mendekat ke arah saya sambil membawa caliper, alat ukur sepanjang dua meter, yang setiap harinya selalu setia menemani Ikhsan mengukur panjang ikan tuna. Cano, begitu dia akrab disapa oleh rekan-rekannya, saat ini tergabung di Yayasan MDPI sebagai Sustainability Facilitator (SF). Cano sendiri adalah pemuda asli Desa Waprea yang sebelumnya sempat bekerja sebagai nelayan tuna pancing ulur. Saya dan Cano lantas berjalan bersama menuju ke kerumunan ibu-ibu.

Sembari menunggu sang suami pulang, para istri nelayan tersebut banyak bercerita mengenai kehidupan sehari-hari. Termasuk mengenai pekerjaan sang suami sebagai nelayan. “Beta pung Pae Tua, pigi melaut tadi pagi sekitar jam 6 pagi, semoga sa antua hari ini dapat rahmat agar nanti katong bisa dapat asar kepala tuna terus katong bisa makan rame-rame (Suami saya berangkat melaut sekitar jam 6 pagi, semoga hari ini dia mendapatkan rezki, supaya nanti kita bisa bakar kepal tuna dan makan bersama-sama, Red),” kata Ibu Saiya, salah satu istri nelayan, yang tengah mengasuh anaknya yang baru berusia tiga tahun.

Sore itu, Ibu Saiya tengah menunggu Pak Hayunan, sang suami, pulang dari melaut. Ibu Saiya menceritakan bahwa hasil tangkapan ikan sang suami sekarang sudah banyak berubah jika dibandingkan dengan sebelumnya. Kini hasil tangkapan tidak menentu, bahkan seringkali pulang tanpa hasil tangkapan.  Sementara operasional sekali penangkapan mencapai Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu.

Cerita dari Ibu Saiya tersebut membuat saya terenyuh. Betapa tidak, jika hasil tangkapan ‘kosong’ terus-menerus, bagaimana mungkin nelayan skala kecil tersebut memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sementara lautan menjadi tumpuan hidup satu-satunya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Tidak terasa, obrolan saya bersama para istri nelayan tersebut berlangsung cukup lama. Hingga tiba-tiba terlihat matahari kian turun mendekati air laut yang artinya hari akan semakin gelap. Namun sayangnya perahu yang ditunggu-tunggu belum kunjung tiba.

Sambil terus menunggu perahu nelayan mendarat, saya pun terlibat obrolan yang semakin dalam. Kali ini tidak hanya dengan Cano, tetapi ikut bergabung rekan-rekan MDPI lainnya. Ada Asis , Miun dan Untung. Obrolan kami masih sama, yakni tentang kekhawatiran para nelayan apabila hasil tangkapan tidak bisa maksimal lagi. Termasuk bagaimana agar para nelayan tuna di Pualau Buru dapat terus menangkap ikan secara berkelanjutan.

Kami lalu sepakat bahwa salah satu cara agar penangkapan ikan bisa terus berkelanjutan adalah melalui pendataan hasil tangkapan. “Data yang berkualitas baik dan memiliki kuantitas yang cukup dapat menjadi sumber informasi yang baik bagi para peneliti dan pemeritah dalam mengkaji stok ikan di laut,” kata saya memulai lagi pembicaraan.

“Sehingga dapat dilakukan manajemen perikanan yang baik untuk menjadikan ikan tuna tetap lestari dan dapat terus dimanfaatkan keberadanaannya,” lanjut saya. Itu merupakan kalimat-kalimat penyemangat yang sering menjadi pegangan kami selaku pengambil data sampling ikan tuna pada nelayan skala kecil. Tentunya sebagai anak nelayan yang berasal dari Pulau Buru, baik Asis, Miun, Untung dan Cano sangat memegang teguh kata-kata tersebut. Mereka tidak ingin, nelayan yang berada di kampung mereka tidak dapat lagi menangkap ikan tuna. Begitulah kami berdiskusi dalam saling mengingatkan pentingnya data.

Tidak terasa, matahari pun kini benar-benar sudah terbenam di lautan, menciptakan suasa gelap. Tampak dari kejauhan beberapa lampu kelap-kelip semakin mendekat ke arah pantai. Tidak diragukan lagi, itu adalah lampu kode yang dipasang nelayan di atas kapal untuk menghindari kapal agar tidak tertabrak kapal lain pada saat malam hari.

Ibu Saiya dan para istri nelayan yang lainnya memasang potongan-potongan kayu yang biasa mereka sebut “langgi” secara berjejer di atas pasir. Ketika Pak Hayunan berlabuh, kami pun langsung mengambil posisi untuk membantu mendorong kapal tersebut menuju darat. Sekitar 10 orang mendorong kapal tersebut secara perlahan-lahan dengan bantuan langgi dapat didorong sampai di darat.

Selepas itu, Cano langsung merentangkan kalipernya untuk mengukur panjang tuna, kemudian menimbang berat ikan tuna. Tidak lupa, Cano melakukan wawancara kepada Pak Hayunan tentang biaya operasional yang terpakai seperti penggunaan es, penggunaan BBM, lama memancing, dan data biologi berupa daerah tangkap, jenis Umpan dan keberadaan hewan ETP (endangered, threatened, and protected) yang berinteraksi dengan nelayan. Berkat kerja sama yang baik dari para nelayan, Cano dapat menyelesaikan data sampling hanya dalam waktu lima menit.

Menariknya, Cano menulis data-data tersebut tidak di atas kertas, namun langsung dalam smart phone yang dimilikinya menggunakan I-fish apps. Sebuah terobosan baru bergaya elektronik yang dibuat dalam bentuk aplikasi untuk pengumpulan data sampling pada perikanan tuna pancing ulur skala kecil yang dibuat dan dikembangkan oleh MDPI sejak 2018. Sebanyak 167 data sampling yang sudah terkumpul dari Buru dengan menggunakan aplikasi ini.

Melalui I-Fish apps tersebut penggunaaan kertas dapat diminimalisasi dan dapat mempersingkat proses penginputan. Jika sebelumnya, semua data ditulis dalam formulir kertas, kemudian dimasukkan ke dalam form excel untuk selanjutnya diunggah ke database yang menghabiskan waktu yang cukup lama. Namun kini hanya dalam satu langkah, data sudah tersedia dalam aplikasi. Aplikasi ini juga dapat digunakan di daerah terpencil yang sulit dengan akses internet seperti di Desa Waprea. Untuk diunggah ke database, Cano hanya membutuhkan sedikit koneksi internet, karena data ini juga tidak berat kapasitasnya. Yang paling terpenting adalah, aplikasi ini dapat mempercepat proses pengiriman data, sehingga data yang terkumpul dapat diakses dengan cepat dan dalam kondisi paling terkini. Dengan demikian dapat membantu dalam mengumpulkan data yang baik dan berkualitas dengan jumlah yang cukup bagi pemerintah dan para peneliti dalam mengkaji stock perikanan tuna dalam merumuskan manajemen yang baik dalam mewujudkan perikanan tuna yang berkelanjutan.

“Aplikasi ini memang baru bagi katong, tetapi harus katong pakai terus menerus agar terus terbiasa, mengingat I-fish apps dapat mempercepat proses pengumpulan data dan penginputan data, sehingga katong seng perlu matawana (bagadang) untuk masukkan lagi ke dalam data excel. Namun kedepannya I-fish apps ini agar terus dikembangkan agar dapat semakin baik,” ungkap Cano usai melakukan pendataan sampling tuna.

Ditulis oleh: Putra Satria Timur